Senin, 24 November 2014

Perempuan Pemintal Kenangan

Ia berfusi dengan bias sinar rembulan. Setiap malam memupuk rindu diseberang lamunan. Kakinya bergoyang berirama tanpa musik--tanpa menyentuh tanah saat duduk di ujung bale bambu--tanpa seorang pun yang menemani. Hanya bising nyamuk sesekali lewat di daun telinga dan cahaya temaram dari strongking membuat siluet di kejauhan.

Dalam duduknya yang tenang, Ia merangkai awan dari balik kelopak matanya yang bulat. Membentuk sebuah kapal, awan yang lain berupa ombak. Seolah berlayar mengarungi Samudera Selatan, awan yang lainnya lagi dijadikannya bongkahan es. Mencoba menghindari bongkahan demi bongkahan besar. Jauh didalam dunia imajinasinya, tak seorang pun yang pernah selamat melewati arus deras, angin kencang dan bongkahan es dimana-mana.

Sekalipun skenario awan putih yang menjadi petualangan dibalik bola matanya tak pernah ada yang selamat, Ia tidak ingin kalah oleh imajinasinya sendiri. Layaknya seorang Henry Morgan yang menaklukkan Selat Gibraltar, tak pernah pupus akan apa yang dihadapinya. Bergelut dengan guncangan dan badai, menghindar kekiri dan kekanan, bertahan pada kaki sendiri dari terpaan angin. Hingga akhirnya kandas pada bongkahan yang tak diperhitungkan. Bongkahan yang sebesar kubah masjid Nabawi itu tak terlihat, tertutupi ombak.

Kapal pun hancur, bongkahan es pun hancur, ombak pun hancur. Tapi satu yang membuatnya tersenyum, dalam benaknya ; Sekalipun karam , aku tidak mengalah. Sekalipun kalah, aku tidak berpura-pura.

Ia bergeser kekiri di atas bale bambu itu, bersandar pada tiang yang digantungi sebuah kentongan. Melirik ke belakangan. Kearah rumah, tempat Ia berteduh dari panas dan dingin. Disana masih terdengar seorang Ayah yang bergumul dengan mesih jahit. Pertanda jam tidur masih jauh.

Setelah kapal itu karam dalam Samudera Selatan imajinasi, Ia kembali belalakan kearah langit. Menunggu pecahan-pecahan awan menyatu, kemudian membuat Longleat Hedge Maze dari telunjuknya, sebuah labirin terumit yang pernah ada. Dan Ia sendiri yang menjalaninya. Sebelum memulai, Ia kembali tersenyum, lalu membentuk donat untuk disantapnya. Dan Ia pun tahu, bahwa donat itu tidak mengenyangkan. Hanya membuatnya tersenyum.

Jalur demi jalur dijalaninya secara perlahan, membuat penanda-penanda setiap tikungan. Tak jarang bertemu jalur yang buntu atau jalur yang putus. Membuatnya harus mengambil jalur yang lain. Sesekali Ia hanya berputar-putar di tempat yang sama, dan kembali mengambil jalur yang lain. Saat berada pada jalur simpang lima, ia bertemu dengan tiga sosok cahaya yang membuat langkahnya berhenti. Tiga sosok cahaya yang masing-masing berdiri pada tiga jalur yang berada pada simpang lima.

"Jalur ini bernama Intelektualitas," kata cahaya pertama. "Kau akan bertemu dengan pemahaman yang mengantarkanmu pada jalur Kecerdasaan dan mengeluarkanmu pada labirin ini dengan ide-ide brilian."

"Aku sangat ingin cerdas dan memiliki banyak pengetahuan." Sahut Ia.

"Ada bagusnya kau lewat jalur ini," cahaya kedua tak ingin kalah. "Jalur ini bernama Spritualitas, kau hanya berdoa dengan khusyuk dan akan mendapat tuntunan penglihatan dari sang Khalik untuk keluar dari labirin ini."

"Aku sangat ingin menjadi orang yang taat dan beriman hanya kepada-Nya." Ia kembali menjawab.

"Bagaimana jika kau lewat jalur Emosional saja?" Kata cahaya ketiga dengan tenang. "Kau tak perlu tergesa-gesa saat berada pada jalur ini, karena hanya ketenanganlah yang membuatmu bisa lepas dari labirin ini."

"Sepertinya aku tertarik dengan jalur itu, jalur kecil itu." Ia menunjuk jalur kelima.

"Tapi!" Ketiga cahaya serentak berkata.

Ia berjalan menuju jalur kelima. Sebuah jalur yang gelap. Pohon Yew yang menjadi dinding labirin itu meninggi, tapi hanya terjadi pada jalur kelima. Sisi satu dan sisi lainnya menyatu diatas, seolah membuat atap dengan sendirinya. Dan berduri. Tapi Ia telah mengambil keputusan, ini jalurnya, jalur yang dipilihnya sendiri.

Menyusuri jalur kelima bukan perkara mudah. Dalam sana bukan hanya gelap dan berduri, tapi tanahnya yang basah dan licin. Entah apa yang ada dalam kepala Ia, memilih jalur yang sunyi, sebuah jalur yang diasingkan dan mungkin kebanyakan orang tak akan menempuh jalur tersebut. Seolah-olah Ia berhenti berjalan, hanya duduk diam didalam sana dan tak melakukan apa-apa. Ternyata tidak. Ini bukan masalah kau diam atau bergerak. Bukan masalah melakukan sesuatu atau duduk diam. Tapi ini adalah tentang menjadi diri sendiri, bukan menjadi benalu parasit dalam setiap jalur. Ia menolak mentah-mentah menjadi sosok yang cerdas, berahlak dan tenang dengan seribu rupa topeng idealisme murahan untuk menipu diri sendiri.

Dan lelaki yang hidupnya tak kunjung berubah, terbaring telentang dalam kamar pengap. Lelaki yang mengkhayal tentang Ia yang bermain dengan awan-awan di langit malam. Ia yang pernah tidur telentang menghadap langit-langit kamar pengap. Ia yang menolak modernitas hiruk pikuk kota. Ia yang memilih terlihat bodoh ketimbang hidup dalam kepura-puraan. Ia adalah, perempuan pemintal kenangan.

Rabu, 19 November 2014

Setiap kali mati, saya hidup lagi.

Dibawah terik matahari yang mungkin saja mampu membakar kulit beberapa bulan terakhir ini, begitu terasa hingga kedalam mata paling sipit sekalipun melihat fatamorgana di kejauhan. Entah Dewa Ra yang kerajaannya semakin mendekat atau lapisan ozon yang semakin menipis atau temperatur global meningkat seiring bertambahnya tingkat gas Greenhouse (rumah kaca) di atmosfer. Emisi ini disebabkan aktivitas manusia. Tingkat karbondioksida di atmosfer bumi mencapai lebih dari 400 part per million. Membuat langkah kaki semakin cepat saat berjalan di kilometer empat pada siang hari. Tujuan pulang-pergi. Pulang kerumah entah pergi kemana.

Saat berjalan kaki dari Flyover menuju rumah. Selalu ada ide yang entah itu cemerlang atau tidak. Seperti baru-baru ini ; Ketika lingkungan sekitarku telah memupuk dendam menjadi daging pada kompleks sebelah, hingga hampir setiap minggu terjadi bentrokan--yang jika di tarik garis lurus--entah apa penyebabnya. Ada yang bilang otoritas, image hingga harga diri yang mudah terbakar oleh isu propaganda dari mulut kemulut. Saya malah menyibukkan diri untuk mengkonsumsi buku dan zine. Tapi saya kembali bertanya pada diriku sendiri : Apakah ini adalah hal yang benar? Dimana teman-temanku saling serang untuk sebuah harga diri dan saya asik membaca didalam kamar? Jawabannya : Iya!

Kembali lagi pada Kilometer Empat. Saat melintasi jalur untuk kendaraan bermotor itu, setelah pulang dari rumah seorang kawan. Datang lagi sebuah ide yang entah itu cemerlang atau memang iya cemerlang. Dalam keadaan jalan zig-zag sekitar dua tahun lalu, dan saya sendiri bisa merasakan aroma Tope Reoja yang bercampur dengan Kuku Bima berwarna biru dari mulut. Hampir setiap hari seperti itu. Tiba-tiba ide itu datang ketika puntung rokok yang terpental dari jari-jemariku menghantam tanah ; Tinggalkan teman-temanmu, hanya itu caranya hingga kau bisa melawan--paling tidak menjaga tubuhmu dari--serangan liver yang kali ketiganya. Dan lagi, saya bertanya pada diri sendiri : Apakah ini adalah hal yang benar untukku? Dimana teman-temanku saling tertawa bergembira dan bahagia setiap malam hari dan saya malah asik membuat zine dan membaca buku didalam kamar? Jawabannya tetap sama : Iya!

Dan ketika Kilometer Empat telah berwajah baru, ruas jalannya semakin luas dan tetap sempit ketiga ada roda empat melewatinya. Saya kembali berjalan menunduk menuju rumah (Kata pepatah, orang yang jalan menunduk tidak punya pendirian. Kata saya, tidak percaya dengan pepatah.) sedari membawakan buku pada seorang kolega. Ide itu datang lagi, lagi dan lagi. Kali ini opsinya adalah hubungan antar manusia. Mulai dari pertemanan, sahabat hingga ke yang paling intim, kekasih. Sewaktu berhenti untuk membakar rokok, ide itu seperti kanakar di dalam kepala (Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar -Ucu Agustin-) ; Dimana ada pertemuan, disana ada perpisahan. Kau akan dibuat kecewa jika terlalu mempercayai sesuatu dengan gamblang sedari awal. Atau seseorang yang menginginkan dirimu menjadi dirinya. Dan janganlah sekali-kali menilai seseorang dari penampilan. Apa lagi mengurangi kemanusiaan seseorang hanya karena ada organ yang tidak berfungsi. Seperti biasa, semuanya jadi pertanyaan pada diriku sendiri : Bukankah setiap manusia berbeda-beda? Jika kau bertemu dengan tipe manusia selektif atau tipe manusia menyedihkan, seperti benalu parasit, bukankah ia masih manusia yang tak boleh disakiti, tapi bisa dihindari. Jika kau dibenci karena nasibmu, mungkin mereka butuh kau sebagai orang lain yang sama. Dan jawabannya : This is my life, you cannot change it!

Maka setiap hal yang saya rasa adalah sebuah mortalitas, akan selalu datang sebuah ide serupa kanakar didalam kepala. Dan jika ini adalah sebuah pretensi bagi duniaku, maka saya akan lahir kembali dari tidur pulas sekuadron mutan yang bermimpi tentang kesempurnaan.

Sabtu, 01 November 2014

November No Rain

"Dimana ada pertemuan, disitu ada perpisahan." Entah siapa yang membuat kalimat ini, Saya tidak begitu peduli. Tapi seperti itulah hidup. Dimana ada awal disitu ada akhir. Kata Green Day dalam lagu Jesus Of Suburbia-nya, nobody's perfect and I stand accused. Dalam hal ini, Saya tidak pernah menggunakan kacamata rasional maupun irasional untuk memilah sebuah hubungan yang layak. Dimana kedua belah pihak bisa saling mengerti, bukan hanya kebutuhan dalam hubungan itu saja. Tapi keduanya diharuskan saling menutupi kekurangan dan tidak melebih-lebihkan keunggulan satu sama lain. Melainkan bagaimana menjalaninya secara konsisten tanpa adanya perantara dari luar atau dominasi pihak ketiga. Jika sebuah hubungan telah terkontaminasi cara pandang orang lain, bisa jadi kondisi psikis cenderung berfungsi saat berhadapan dengan masa lalu atau masa depan. Bukannya kita ada dimasa sekarang? Masa lalu adalah tetek bengek mengapa kita berdiri saat ini dan masa depan itu tidak akan pernah ada jika masa sekarang dan sejarah masa lalu tak pernah ada. Semua rapalan akan masa depan adalah konsumsi manusia maju (Baca : Post-Modernitas) dimana tata letak kehidupan menjadi budaya tanding dalam ruang lingkup masyarakat modern. Interpretasi skeptis.

Kita dihadapkan oleh dunia yang condong pada sisi yang dianggap 'positif', 'baik-baik' dan menjadi re-generasi yang disuapi akan hidup itu sendiri. Kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan berproses adalah minim. Dogma lingkungan yang menjadi dewa adalah pasti, bahwa yang layak adalah mereka dengan masa depan yang cerah. Dan ini akan menjadi budaya, dimana sebuah ketakutan akan masa depan yang buruk. Bukannya sebuah hubungan hanya membutuhkan : Atap untuk terhindar dari terik matahari dan dingin dimalam hari, terpenuhinya kebutuhan pangan, dan tentunya penuh cinta.

Strata sosial memang sudah lama menjadi tolak ukur dalam bermasyarakat. Bibit, bebet dan bobot diperhitungkan. Dari cara berpakaian hingga gaya bahasa yang digunakan. Dari makanan yang dikonsumsi hingga kendaraan yang dimiliki. Dari tempat tinggal hingga pendidikan yang digapai. Manusia akan kehilangan entitas-entitas ketika memasuki rana penyeragaman yang mutlak. Jika tidak, kau tidak akan pernah menggapai apa yang kau inginkan dalam hubungan antar manusia. Eksistensi tatanan hirarki tidak akan pernah menilai rasa yang lahir dari hati, ia serupa nuklir yang meluncur kearah isi kepalamu saat kau tak sanggup memenuhi kebutuhan peradaban. Dimana yang mengkilat, bersih dan indah adalah sesuatu yang cerah dikemudian hari.

Tunggu, tunggu... Sepertinya ada yang salah. Apa Saya terlihat mengeluh akan nasibku? Atau karena Saya yang tak sanggup untuk menjadi manusia yang sedikit terlihat 'terhormat'? Bukankah nasib manusia ada ditangannya masing-masing? Itu berarti saya telah memilih nasib, dan menjalaninya hingga saat ini. Dan, sebelum munulis tiga paragraf diatas yang saya sendiri tidak mengerti artinya apa dan seperti apa. Saya sudah berpikir, ini bukan untuk menyinggung siapapun yang ada disekitarku sedari dulu hingga saat ini. Saya hanya mencoba membangunkan diri sendiri dari representasi manusia lain yang beranggapan, bahwa hidup yang layak dijalani adalah hidup yang standarnisasinya dari generasi sebelumnya. Maka izinkanlah Saya menyanyikan lagu berikut ini yang mungkin tak pernah saya nyanyikan dipanggung.

You've changed a goddamn thing
Hold your head up high
When the hardest times come
We're heading straight to the fight
Believe in yourself
Let the hell out of the door
Honor is among us
Honor is all we know


Minggu, 19 Oktober 2014

Neila...

"Sayang, kamu sudah bangun? Hari ini jadi ke Risma kan?"

Mataku masih sayup. Siang itu pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Bias matahari tak pernah sampai kedalam kamarku. Mengatur nafas sebelum meninggalkan tempat tidur adalah kebiasaanku. Lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka-kemudian kedapur meneguk segelas air putih. Ternyata sudah dua panggilan tak terjawab di layar handphone.

"Sorry sayang, aku baru bangun. Iya, pesanannya hari ini sudah jadi. Kamu jemput aku?"

"Pemalas! Iya, ini sudah siap."

"Sms kalau sudah ingin menuju kesini."

"Ini juga sudah mau jalan."

"Oke. Aku mandi sekarang :*"


Setelah beberapa menit kemudian, aku pun sudah siap. Menunggu Neila di ruang tamu sembari menyeruput kopi yang baru saja bercampur air panas. Hari ini akan tampak melelahkan, bukan hanya mengambil pesanan gaun saja, tapi menyebarkan undangan pernikahan kami kepada beberapa teman dekat. Kemudian menuju lokasi untuk pemotretan pra-wedding kami saat sunset di tepi dermaga salah satu pantai kota ini. Kopi pun sisa setengah, dan ini batang ketiga rokok yang terbakar. Seperti biasa, aku selalu maklum pada Neila yang selalu telat. Sesaat setelah rokok batang ketiga telah habis terhisap, akhirnya Neila datang. Kami pun langsung berangkat mengendarai roda dua dengan warna merah saga milik Neila.

Di tengah perjalanan, sms Risma masuk. "Gio, maaf, saya lagi diluar urus kiriman di bandara. Datangnya malam aja yah."

"Okey, Ris." Balasku dengan tangan kiri.

"Jadi, kita nyebarin undangan dulu?" Tanya Neila sembari tangannya melingkar di perutku.

"Iya sayang." Balasku dengan tangan kiri mengusap tangannya yang menempel diperutku.

Hari itu cuaca sangat panas. Beruntung, karena kali ini aku memakai sepatu. Tidak seperti biasanya yang hanya memakai sendal jepit jika keluar rumah. Sekalipun ke acara nikahan. Setelah selesai kesana-kemari, keluar masuk rumah teman dekat menyebar undangan. Pukul tiga lewat lima belas menit, perutku keroncongan. Pikirku masih sempat untuk singgah mengisi perut di warung makan pinggir jalan. Akhirnya kami memutuskan untuk menikmati coto Pettarani. Didalam warung itu Neila tampak begitu cantik, ia berseri.

"Minggu depan kita sudah tidak bertemu lagi yah?" Tiba-tiba Neila bertanya.

"Kan cuma seminggu, sayang."

"Rasanya setahun."

"Aku langsung merasa kenyang digombal sama kamu."

"hahahaha"


Neila tertawa lepas. Ia selalu lupa jika tertawa, lupa jika sekelilingnya menoleh kearahnya. Saat itu, aku memandangnya, mengingat kembali saat pertama kali berjumpa di bawah Flyover. Ketika itu ada aksi untuk warga Rembang dan Karawang yang tergusur. Empat tahun telah kami lalui dengan suka duka. Yang awalnya aku tak direstui kedua orang tuanya karena seorang pengangguran. Hanya perasaan yang kuatlah hingga kami akan bersatu dipelaminan dua minggu kedepan. Setelah makanan habis, kami melanjutkan perjalanan hari ini. Yaitu menuju lokasi pemotretan. Dua teman kami telah tiba lebih dulu dilokasi. Beberapa menit kemudian, kami pun telah tiba. Suasananya sungguh tepat, saat itu pengunjung sepi. Dan cuaca yang mendukung. Tak lama lagi sunset akan terlihat. Aku dan Neila bergegas untuk mengganti pakaian. Ada dua kostum yang Neila sendiri persiapkan. Yang pertama : Konstumnya hitam-hitam. Dan kedua : Kostumnya Putih-putih. Setelah beberapa kali pengambilan gambar, Sunset pun bertukar dengan senja kelabu. Diturunkannya tirai malam dengan bulan dan bintang. Kami pun bersiap-siap untuk menuju tempat Risma.


Sekitar pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, kami pun tiba di tempat Risma. Ada lelah yang terbersit diwajah Neila. Bayangkan saja, seharian kami berdua berada dijalan. Kesana-kemari. Tapi saat Risma memamerkan gaun buatannya kepada kami, terlihat Neila kembali bersemangat. Bahkan ia langsung melompat kearah Risma. Gaun putih itu sungguh sangat cantik. Neila langsung mencobanya. Ia memasuki satu-satunya kamar di tempat itu. Bergegas melepas pakaiannya, dan menggunakan gaun putih buatan Risma tersebut. Kurang dari lima menit, Neila pun keluar dari kamar. Mataku terperangah, Neila sangat... Ia seperti bercahaya. Pikirku dalam hati, seperti ini saja ia nampak cantik, bagaimana jika sudah didandani minggu depan?

"Kok menganga begitu, sayang? Kagum yah? hahaha..."

"Ih pede kamu."
Serentak Neila dan Risma tertawa karena melihat aku menyembunyikan pandanganku pada Neila yang sangat cantik dengan gaun putih itu. Aku hanya senyam-senyum salah tingkah.

Akhirnya kami ngobrol-ngobrol beberapa saat dengan Risma, tentang pernikahan kami. Kebetulan, Risma sendiri yang akan memoles wajah Neila dan tentunya juga aku di hari-H. Dan tak terasa jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh menit. Kami pun pamit kepada Risma, dan berterima kasih banyak atas gaun putihnya yang sangat cantik.

Dijalan, Neila sangat girang. Ia memeluk bungkusan gaunnya. Ia bercerita bahwa saat pesta, aku akan melihat peri turun dari langit. Peri itu akan berdampingan denganku. Seekor peri putih yang bercahaya, seperti aurora. Aku hanya tersenyum dan mengelus lututnya sebagai rasa syukurku-bahwa kami akan hidup bersama juga. Mengarungi samudera rumah tangga dengan suka duka.

Aku menatap Neila melalui kaca spion sebelah kiri, ia masih bercerita, bahwa peri tersebut akan selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Peri yang tak pernah melukaiku, karena ia diciptakan hanya untukku. Karena peri itu diciptakan hanya untukku. Karena Neila diciptakan hanya untuk Gio. Lalu datang cahaya dari sisi kiri, yang lebih terang dari cerita Neila tentang peri yang cantik dan baik hati itu. Peri yang tak pernah meninggalkanku.

Tiba-tiba jalan begitu macet. Kendaraan berhimpitan, padahal ini sudah larut. Kami berusaha keluar dari kemacetan yang lumayan panjang. Tapi Neila sudah tidak bercerita lagi tentang peri khayalannya. Mungkin ia begitu lelah. Gaunnya masih berada dalam rangkulannya.

Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk lepas dari kemacetan tersebut. Hingga angin terasa sangat dingin. Tapi tak terasa hingga ke tulang. Saat melewati Flyover, tempat dimana kami bertemu, aku menoleh kebelakang, dan Neila tersenyum. Ia langsung memelukku sangat erat. Tapi tidak menghilangkan hawa dingin disekujur tubuh. Setiba dirumah, kami tidak menemukan seorang pun. Tapi tak ada pintu terkunci. Akhirnya aku menyuruh Neila untuk balik.

Hampir setiap malam aku menyuruh Neila untuk balik. Setiap jam sepuluh malam, saat ia datang, aku pasti menyuruhnya untuk balik. "Ini sudah jam sepuluh malam sayang, nanti Ibu mencarimu." Seperti itulah jika Neila mendatangiku. Aku pasti menyuruhnya untuk balik. Balik dan balik. Aku tak ingin jika Ibunya semakin khawatir. Hingga suatu malam, aku mendengar di ruang tamu Ibu menangis, Ibu Neila juga menangis. Aku tak tahu kenapa mereka menangis. Bukankah aku dan Neila akan menikah minggu depan?

"Seperti itulah keadaan Gio, Bu Lina. Setelah kejadian tiga bulan lalu. Aku mengutuk sopir truk itu, ia yang membuat hidup anakku seperti ini. Ia yang membuat Neila pergi untuk selamanya, dan ia pulalah yang mebuat Gio harus dipasung di kamar tengah itu."

Tangis pun pecah. Aku mendengarnya, suara tangis itu. Bukan, bukan. Bukan suara tangis dari Ibu kami. Aku tahu, itu suara tangis Neila. "Pulanglah, sayang. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, Ibu nanti mencarimu. Pulanglah, Neilaku sayang."

Rabu, 01 Oktober 2014

Aminor

Ia yang sore itu ditengah kerumunan demonstran. Aku yang sore itu diantara mereka. Seperti biasa, mataku yang nakal selalu cepat merespon hal-hal yang indah dalam situasi genting sekalipun. Tampak sederhana dengan senyum yang tak mengada. Beberapa kali meliriknya tetap saja merasa kurang. Penasaran pun itu datang tak di undang, ada getar yang entah kenapa saat memandang kearahnya. Hingga bubar karena bentrokan dengan sekumpulan orang yang aneh. Menurut kami mereka itu aneh, mungkin menurut mereka, kami juga ini aneh.

Selalu ada kekuatan untuk sesuatu yang penasaran. Cukup sekali bertanya, dengan orang yang tepat, nama yang kau inginkan melekat seketika dikepala. Dan percayalah, mesin pencari manusia nomor satu bukan lagi barang langka. Senang pun tiba secepat aku menemukannya di obrolan sosial media. Bertukar link Blog yang sama-sama ingin dikritisi kemudian merembes pada hal-hal yang lebih menarik. Malam itu pun aku membacamu lebih dari 'Cantik Itu Luka'. Kau menyebutku Si Penggoda. Aku tertawa. Kita tertawa diantara 'perang yang tak akan pernah kita menangkan', budaya patriarki dan hirarki, kesetaraan gender hingga kelamin yang terjaga. Sekalipun diawali oleh kecurigaan bahwa aku seorang Intel, seketika bibir ini berpacu dengan otak kiri kemudian bernyanyi dalam hati salah satu lagu dari Social-D.

Making believe, I'll spend my lifetime, loving you and making believe...

Tapi tetap saja, cinta bukan gelas yang berisi kopi panas kemudian menyeduhnya dengan terburu-buru. Jika tak sabar maka Ia membuat lidahmu melepuh. Butuh waktu untuk bisa merangkai sedikit demi sedikit puzzle yang terbuat dari perasaan ini hingga mendapat sedikit kepercayaan. Dan waktu pun serasa tak cukup hanya untuk sekedar berbagi cerita satu sama lain. Saling melempar dialoq panjang kali lebar yang berujung rasa kantuk di subuh hari. Berhari-hari hingga tak adalagi yang tertutupi, kata-kata itu pun telanjang tanpa batas. Berlari sesuka hati, menerobos makna cinta itu sendiri.

Lalu kita mulai ditumbuhi bunga-bunga mekar serupa taman yang di tinggal pergi pemiliknya. Menatanya perlahan-lahan hingga membentuk sebuah jalinan abu-abu yang menjadi kisah penuh warna. Kisah bunga tak bertangkai dengan ribuan warna. Ia tak membutuhkan tangkai untuk menjadi indah, yang Ia butuhkan hanyalah semangat. Begitupun aku padamu, tak ada alasan untuk mencintaimu. Yang ada hanya rasa percaya, bahwa kedatanganku bukan untuk menghisap sarimu kemudian terbang ketempat lain, karena aku adalah gembok dengan ribuan kunci yang menjaga merah sagamu.

***

Dan ketika hawa subuh yang memanas saat itu. Kita berseluncur basah disudut gelap diantara tidur yang tak terjaga. Beradu rasa dengan bisik-bisik suara. Bersuara parau. Menit demi menit yang begitu tegang. Hingga akhirnya kita berdua berdiri di tempat yang sama. Di tempat yang membuat mata perih oleh asap. Mundur oleh asap. Ada khawatir yang begitu jelas antara kita. Terpisah oleh kawanan yang berhamburan. Dan rasa panik hilang saat kau melambaikan tangan di bawah pohon beringin. Cara membalas lega pun hanya dengan senyum, lalu menuju ruang tak di sangka. Ruang yang membuat kita menyatu dalam subur. Begitu erat hingga tak ada lagi waktu yang berjalan. Hanya deru nafas yang bergitu cepat. Deru nafas yang menciptakan cerita bahwa Aminor tak selamanya sedih dan kelam. Dan kita berdua tahu bahwa kepala kita tidak perlu tahu kesepakatan hati kita. Karena cinta yang baik lebih membutuhkan perasaan, bukan isi kepala.


Minggu, 28 September 2014

Dari Memorabilia Hingga Kun Fayakun.

Melipat September dengan romantisme ilegal. Belum sekali pun turun hujan. Hanya saja, tanah tempat kaki mereka berpijak begitu basah. Oleh marah. Apa kalian pikir, bahwa ranjau adalah bagian dari instrument? Kita bertemu pada garis yang tak sejajar. Mengimbanginya dengan gurihnya cerita. Merangkai Kun hingga Fayakun. Dan kau, yang kelak kami panggil Aminor, tabahlah akan waktu yang membuatmu berada di atas garis-garis tangan orang lain.

Tempo hari aku bercerita tentang sesuatu yang nisbi. Sesuatu yang turun runcing dan tajam. Mendarat di lantai hati. Membuat jalan menyeringai jadi rintangan. Yang membuat kita berdua, menolak menjadi cahaya artifisial. Tentang isme-isme yang berhamburan di kepala. Bahwa kita adalah seberkas permainan semesta. Diracuni pengetahuan. Di nina-bobokan pemahaman. Bukankah kita menyatu dalam subur, karena perasaan? Hingga di kemudian hari, peristiwa ini akan patut dikenang.

Kita akan menari, melewati retakan ini. Berdansa pada situasi yang kikuk. Sekalipun harus dicacah sudut. Dipantulkan kondisi ke segala arah. Hingga remuk pun, bukanlah sebuah alasan untuk menyerah. Aku tak ingin gerakku tergenang kering dalam kata-kata saja.
Hingga tak bisa membedakan garis tipis antara naif dan moron. Serupa roller coaster, tapi aku menolak untuk sekedar teriak. Karena kau sudah tahu, aku pun sudah tahu, bahwa tak ada angin canggung yang berani lewat dihadapan kita. Lepas begitu saja. Tak perlu merapalkan doa hanya untuk melihat langit yang mulai menghitam.

Hingga di suatu pagi, saat kado yang terbungkus pelangi itu terbuka. Kita akan bebas melayang, bergerak sesuka hati, berputar tanpa pusing, menari tak perlu irama, terbang seakan tak ada gravitasi dan jungkir balik pun begitu menyenangkan. Tak akan ada lagi cahaya yang redup. Tak juga membiarkan waktu berjalan menggunakan sepatu dengan tali merah. Dan juga tak akan ada yang membuatmu terisak disudut kamar. Karena saat itu, aku akan memiliki sayap yang membawaku terbang ke Dunia Aux. Sayap yang kudapatkan saat semua yang hadir di belakang kita serentak berkata : SAH!!!

Kamis, 18 September 2014

Bayang-bayangku Di Dalam Matamu

Senja menjadi alarm untuk beranjak. Jejak di taman menjadi acak. Sajak yang tak mengenal jarak. Seperti arak, kita berdua mabuk kepayang. Kau menamaiku rasa. Aku menyebutmu rindu. Kita menjuntai kepucuk awan. Melebur pada tanah. Menjadi daun pada tangkai yang sama. Dimatamu aku melihat muara. Dimataku kau mendengar suara. Yang kemudian merekah di telingamu. Hingga bergetar di dada. Jika sesuatu yang besar akan datang bersama angin. Siapkah kau mendengar kisah sepasang kunang-kunang, yang hidup di belantara hutan-hutan lama di Antiochia? Tempat dimana mereka tak saling mengenal satu sama lain. Mereka saling melupakan, sekalipun berwarna sama. Kesalahannya, karena mereka tak membuat pilihan, hutan mana yang di tujunya. Cuaca malam hari yang tak membuat mereka menjadi terang. Tanah di hutan itu adalah perkara sebenarnya. Tak ada jalan keluar, kecuali menikmatinya. Maka bernafaslah dalam-dalam sebelum menyelam.

Riak-riak air matamu terbaca. Menafsirkannya di tengah ranjang. Jawabannya sama saja, malam yang terluka dan bulan yang terbelah dua. Hanya saja aku percaya, bayang-bayangku ada di dalam matamu.

Rabu, 17 September 2014

Sisa Rumah Pohon Pisang


Pagi itu saat langit masih mentah. Akan kuingat sepanjang hidupku.

Mataku yang sembab tak sempat tersentuh air. Didalamnya, robot kuning berjalan menuju tempat kami, tempat bermain dengan peri okeanida. Tapi aku tidak khawatir sedikit pun, peri itu bisa terbang menembus awan. Ia juga bisa menghilang atau bersembunyi dalam batang pohon jambu. Bahkan jika Ia ingin, sekali kepakkan sayapnya robot itu akan hancur berkeping-keping. Aku berharap peri okeanida ada di sekitar sini. Hingga aku tak perlu bercerita panjang lebar saat bertemu dengannya. Semoga Ia tak di marahi Ibunya yang selalu ngomel karena berteman denganku. Ibu peri yang melarang anaknya bermain petak umpet dengan teman-temanku.

Lamunanku buyar tentang teman periku yang rumahnya berada di kompleks sebelah, saat robot besar berwarna kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya semakin mendekat. Perasaanku sedari tadi tak karuan. Sepasang kaki ini kaku. Begitu pun dengan wajahku. Senyumanku hilang saat orang lain-lain serentak berdatangan. Langkahnya bagai gemuruh dilangit kelam. Bahkan saat aku mulai mengerti mengapa sebagian orang di sekitarku mengeluarkan air mata bukan karena asap putih itu. Melainkan saat ayunan pertama dari moncong robot itu. Suara-suara berhamburan terasa sesak didalam dada. Aku bahkan tak mengerti, kenapa aku mendengar menggunakan hati bukan telinga.

Satu persatu tempat tinggal kami roboh oleh moncong itu. Aku heran, mengapa Ia tak memakannya saja atau menyedotnya hinggat habis. Mungkin Ia dan kawan-kawannya lupa, jika menyisahkan remah-remah, akan datang koloni semut merah yang lebih marah lagi. Seketika semuanya rata dengan tanah. Dari dinding hingga lantai dada ini semakin sesak. Bibirku bergetar. Perlahan-lahan air mataku membuat garis lurus di kedua pipi. Riuh teriakan dari segala arah. Aku pikir itu adalah permohonan dari sumur yang terkena runtuhan atau mungkin cacian sisa rumah pohon pisang kepada robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya. Tiba-tiba aku ingat huruf-huruf yang tertempel di dinding sekolahku. tepatnya, rumah yang di jadikan sekolah. Ternyata Ia juga bernasib sama dengan yang di sekelilingnya. Huruf-huruf yang mengenalkanku bahwa "Budi itu anaknya Bapak dan Ibu Budi. Bahwa "Kaki tidak digunakan untuk makan". Atau mungkin saja kelak, huruf-huruf itulah yang memberitahuku bahwa "Karena Penggusuran Ada Dimana-mana Maka Perlawanan Juga Harus Ada Dimana-mana", mungkin saja. Setelah huruf-huruf itu, aku mengingat buku yang ku tempati menggambar. Aku senang menggambar rumah. Akan aku penuhi warna. Tempat menyimpan semua kebahagiaan. Rumah yang aku bangun oleh telunjuk dan jempol. Anehnya, mengapa mereka menggunakan robot sebesar itu untuk menghancurkannya? Sepertinya mereka tidak senang dengan gambaranku. Jangankan itu, pakaianku pun mereka tidak mengizinkan untuk mengambilnya. Padahal mereka tidak mengambilnya, hanya membiarkannya terhimpit reruntuhan yang dibuatnya. Sepertinya mereka membenciku.


Aku mengenang langit pagi empat hari yang lalu. Saat dunia mengkhianati, saat itu pula aku bermain di atas tanah yang beberapa hari lalu berdiri sekalipun tak kokoh. Robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya sudah tak ada. Mereka membangun dinding yang menyilaukan mata saat matahari di atas ubun-ubun. Perkiraanku benar, mereka lupa mengambil senyumku dan senyum teman-temanku. Mereka juga lupa meruntuhkan semangat Ibu, Ayah dan kawan-kawannya. Sehingga kami masih tetap berada di sini. Bersama teman-temanku, kami bermain. Ia mengejarku, melempariku gas air mata, aku berlari sembari melemparinya batu. Mataku mulai kepedisan, tapi aku tidak bersembunyi dibalik kardus yang di jadikannya tameng. Bukankah itu tindakan pengecut? Melempariku gas air mata sebari sembunyi di belakang tameng.

Senja pun tiba. Warna langit merah saga. Kedua kaki-ku berdebu. Sisa rumah pohon pisang akan kedinginan. Tak ada lampu di reruntuhan. Ibu mandi di sumur yang selamat. Begitu pun dengan Ayah. Aku pun mandi disitu. Begitu pun teman-temanku. Dan semua yang pernah bermukim di atas tanah itu.

Cahaya bulan mulai nampak. Bias lampu dari rumah-rumah seberang membuatku terduduk di bawah tenda berwarna biru. Pikiranku menerawang kebelakang dinding baru itu. Perasaanku mengatakan, yang membuat dinding itu adalah mereka sekumpulan orang jahat. Memisahkan kami dari kehidupan yang layak. Dari kenangan-kengan yang membatu di dalam rumah. Apakah mereka iblis? Kemana pula peri okeanida, tak jua menampakkan dirinya lagi? Jika Tuhan mendengar doaku yang tak khusyuk ini, aku hanya berharap, tak akan ada lagi yang meninggalkan kami selain peri okeanida. Biarkanlah hujan saja yang reda.

Ada kelelahan bersemahyang dalam tubuhku. Ia butuh istirahat. Sama halnya dengan perutku jika keroncongan. Ia butuh makan. Maka terlelap dengan teka-teki kehidupan yang tak sanggup aku pikir saat ini adalah keharusan. Sebab esok, pagi akan menuntunku untuk melihat langit yang masih mentah. Disitu, akan kembali kuingat sepanjang hidupku. Sepanjang hidupku!





Sabtu, 06 September 2014

Too Drunk To Vote!

Pemilu telah membuat hegemoni yang membuat kita lupa, bahwa kita sedang tertipu. Paradigma "dominasi investor" hanya menguntungkan pemerintah dan pengusaha. Sedangkan rakyat lokal menjadi korban. Korupsi di Indonesia adalah struktural perumus kebijakan tidak pro-publik. Kemiskinan di indonesia sebagian besar adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial membuatnya miskin. Ilusi demokrasi melalui pemilu dengan politik transaksional. Harus diingat bahwa pencapaian dalam bentuk angka di pemilu hanya simbolistis saja. kenapa? Karena bukan itu substansinya. Pemilu hanya merubah nasib Caleg dan Parpol yang lolos, bukan rakyat. Kita semua tahu, saat kampanye, kalian hanya dilihat sebagai massa dan saat pemilu, kalian hanya sekedar angka-angka semata. Hanya sekedar angka-angka semata!

Minggu, 17 Agustus 2014

Betapa Menyedihkannya Menjadi Apatis

Saya adalah seorang apatis terhadap sesuatu yang mungkin atau memang tidak menguntungkan bagi diriku. Paling tidak simbiosis mutualisme harus berdiri tegak dalam hidupku dan memang itulah yang terjadi. Apa yang kulakukan untuk orang lain harus punya timbal balik yang sepadam, dimana sistem telah menjadi rantai kehidupan yang mengcekik leherku hingga nyaris putus saat pagi hari tanpa sarapan, begitu pun di saat siang, dan malam hari. Bahkan saat kita tidur pun sistemlah yang menyanyikan Twinkel-Twinkel Little Star. Belum lagi akses internet yang membuatku wajib untuk mengupdate status biar kelihatan hidup sehidup-hidupnya, pakaian yang kugunakan pun harus sesuai dengan jamannya, mulai dari merek A hingga Z atau seberapa canggih layar sentuh dan tombol querty yang akan mengangkat status sosialku di dalam lingkungan sekitarku. Yah, seperti itulah sistem berjalan, kita dibuat menjadi sebuah nilai dari angka-angka yang fungsinya hanya sebagai nilai tukar saja. Kemajemukan ilusi.

Saya adalah seorang apatis, termasuk dalam pembahasan hingga keharusan berkontribusi terhadap pemilu yang di sebut 'hak suara'. Menjadi masyarakat beradab bukan hanya dengan jalan melanggengkan langkah-langkah korporasi meluruskan cita-citanya untuk mengeruk dan merampok apa yang bukan miliknya untuk kepentingannya semata. Ada hal yang membuatku kadang merasa mual ketika membuka beranda Facebook, ada puluhan akun yang melakukan ritual pemujaan terhadap jagoannya, ada pula yang melakukan Black Campaign sejenis sumpah serapah hingga perdebatan tanpa ujung. Atau ketakutan-ketakutan yang lahir jika Si Militerisme, karena di belakangnya ada ribuan fundies yang siap menjadikan negara ini menjadi 'suci'. Atau ketakutan bahwa kita menjadi budak militer? Di culik? Di lenyapkan? Hello, bukankah itu semua sudah terjadi dari bertahun-tahun lalu? Ayolah sayang, bukan itu yang membuatmu harus menjadi api kemudian padam oleh debu.


Saya adalah apatis pada ajang yang konon katanya paling bergensi bernama Piala Dunia 2014 yang berlangsung di Brazil, dimana 32 negara bertanding memperebutkan gelar juara 4 tahunan ini, dimana para kapitalis global berkumpul menyaksikan penggusuran, dimana riuh ratusan ribu penonton menikmati ceceran demi ceceran darah yang tumpah memperjuangkan haknya, dimana para gamblers bertaruh diatas tumpukan mayat yang tak mengerti kenapa mereka di singkirkan begitu saja hanya karena pembangunan stadion. Sepertinya Tuhan lebih apatis dariku. Sepertinya Tuhan lebih memihak kepada mereka yang memiliki kontrol penuh atas semua yang di inginkannya.

Saya adalah apatis untuk tidak menikmati sirup di siang hari pada bulan yang serentak di sucikan oleh korporasi yang mengatasnamakan ketaqwaan umat, dimana provider ponsel dan iklan rokok menjadi topeng raksasa berpayung agama untuk produk mereka, dimana Nabi, ayat suci, Tuhan dan setan menjadi komoditi di seluruh media, dimana para fundamentalis menjadikanmu haram karena warung makanmu buka di siang hari.

Saya yakin jika dari kecil setiap manusia diajari untuk 'memahami', dunia akan menjadi tempat yang 10 kali lebih baik dari hari ini. Dan tentunya tulisan sampah diatas itu tidak akan pernah ada, terlebih oleh diriku yang tak pernah berbuat apa-apa untuk hidupku apalagi untuk hidup orang lain, dan sekarang aku paham, betapa menyedihkannya menjadi apatis.

Selasa, 15 Juli 2014

Desember!

Aku berwujud ruang, pada dua belas bulan di kalender tiap tahun. Ruang yang berisi dua belas kursi goyang, masing-masing memiliki warna berbeda nan terang. Yang boleh terisi satu kursi saja sebagai bentuk hubungan. Yang satu pergi yang lain datang.

Aku berwujud ruang, pada Desember yang bergonta-ganti memainkan kedua belas kursi goyang. Semacam fregoli delusion, dimana kedua bola mataku bertanya pada kuping kiriku, apakah semua yang kutemui adalah sama? Tentu saja tidak atau tentu saja iya. Anggap saja dalam tubuhku tumbuh keraguan yang di paksa mendramatisirkan kenangan, sebuah kisah yang tak lekas redup hanya karena malam berganti siang, atau karena kalian memiliki angka yang sama, angka yang membuatku kembali menjadi skizofrenia tanpa harus mengiris pergelangan tanganku hingga berdarah.

Mereka bukan Desember manufaktur, mereka membalas sedemikian rupa dengan paruhnya yang tajam, hanya saja terkadang ada hitam di ujung kuku setelah menggaruk hatiku yang berlapis kertas minyak. Dan beberapa minggu belakangan ini, Desember yang tak kalah rumit, atau Desember yang mungkin tak terhipnotis oleh gombalan usus kambing yang lahir di antara rasi bintang kemudian membuat pelangi meledak di kepalaku seketika. Ini pagi, pukul tujuh membelah diri jadi dua, mataku meraung mencari langit, aku terhimpit tubuh sendiri. Jika kedatanganmu membuat jalanku menyeringai jadi rintangan dan awan adalah sekumpulan bara api yang membuat langitku memerah, mungkin yang tak sampai pada hatimu adalah debar-debarku, Desember!


Kamis, 26 Juni 2014

Saudade...

Bukan tentang sesuatu yang di cat di atas kanvas atau diukir di atas batu yang kemudian kita menyebutnya seperti 'the Ghent Altarpiece' dan 'the Bruges Madonna and Child'. Ini juga bukan konvensi Jenewa atau menjadi warga Yahudi pada jaman Great War yang menantang Fuhrer, kita juga tidak menginginkan suara-suara letusan yang diciptakan nenek moyang atau hal-hal mulia dalam kitab Antaboga pada zaman Bahula yang di tulis pada daun lontar. Atau tentang menipisnya ozon, dan pekatnya karbon monoksida, yang menjadikan air polusi kita telah praktis mengubah bumi menjadi tempat yang cocok untuk kita.

Ternyata di dunia ini memang tak pernah ada yang sempurna, sayang. Ada sesuatu yang membuat sesuatu itu selalu terasa kurang. Mungkin karena kita diciptakan untuk selalu merasa tidak puas akan sesuatu yang kita miliki. Dan, jika saja cinta itu tak beralasan, bolehkah kita menamainya 'sempurna' sekalipun Ia tampak sederhana?

Aku punya ide, bagaimana kalau kita berhenti bercerita tentang basah kepada air atau berkisah tentang ribuan Torah yang di temukan dalam tambang. Anggap saja ini akan seperti Colombus dan suku Indian atau Pasukan Spanyol dan suku Inca. Kita hanya butuh suatu sikap tentang bagaimana cara pengaplikasian kisah yang belum menjadi kisah pada hari-hari esok, dimana sejumput tawa tak lekas dikenang, terlupakan kemudian terhina. Apa kau tahu, sayang? Beberapa hari ini namamu kutulis dengan huruf hijayyah menggunakan bulir hujan yang kudapati di dinding-dinding hidupku. Karena yang aku tahu, kau adalah gemercik keindahan dari kegelapan Baltik yang berkabut.


Senin, 03 Maret 2014

No-Peace...

Serupa rak buku yang ditempati piring makan. Seumpama ada pernikahan, aku menyumbang anak. Anggap saja aku tuhan. Tapi aku tak berdoa. Tuhan juga demikian. Lalu mereka melihat tawa. Mendapati cemas. Terkadang sedih. Memelihara harta, tahta dan nama keluarga. Di balik tembok, tak ada yang terdengar, sekalipun kematian. Kain kafan maupun peti mati tak ada guna. Apa lagi upacara pembakaran. Koper sudah cukup. Kunci brangkas ada di saku kirinya.

Waktu itu, sabtu belum selesai. Kurang lima belas menit. Perempatan lorong kecil. Mereka menamai dirinya rasa cemburu. Pertemuan yang di landasi kesengajaan. Tak ada manusia melihat manusia. Sumbu terbakar. Gemercik api. Darah merah marah merona. Kematian selalu di tangisi. Anak manusia yang ditelanjangi gengsi.

Di tempat lain. Sabtu telah usai. Mencumbui modernitas kota. Membiarkan api membakar dalam dadaku. Tak ada hening. Aku tak perlu kopi. Tak butuh ganja. Mungkin juga tak butuh silahturahmi. Begitu pun buku. Membaca tidak membuatku bahagia. Tutup saja. Bakar jika perlu. Percuma, huruf-huruf tersusun untuk hidup lebih hidup hanya sampai di kepala saja. 'Jangan bicarakan apa yang kau pikirkan, tapi pikirkan apa yang kau bicarakan'.

Di sudut sana. Diantara bercak yang tak ingin menghilang. Akan selalu ada yang menggerutu tentang hidupnya yang tak lekas tertawa. Sesaat setelah bertemu kolega yang sama. Yang sama-sama membicarakan hasil rampasan.

Minggu, 26 Januari 2014

Eligio...

Seperti itulah desember akhir. Basah. Penuh genangan air. Dan kau tahu, aku hanya mencintaimu, tidak memintamu mencintaiku.

Ada sesuatu didalam tenggorokanku. Aku merasakannya. Seperti pesta akhir tahun. penuh kembang api. Suara terompet dimana-mana. Langit yang berwarna-warni. Jalan protokol menjadi pasar malam semalam. Aku merasakannya, tidak memilikinya.

Sebelum aku melihat kau membakar kembang api ditangan kananmu yang berwarna merah gelap, angin telah membawaku melihat diriku kebelakang. Jauh disana. Sebuah tempat dimana aku merasakan cinta serupa kembang api. Terbakar dengan cepat. Seketika menyembur kelangit-langit. Bola mataku tak ingin berkedip dipenuhi warna. Tak lama kemudian redup, pelan tapi pasti. Hanya sisa asap ditelan angin. Lalu gelap. Tak ada cahaya.

Hujan kerap sempurna. Meninggalkan genangan luka. Menyisakan ingatan yang seharusnya telah kering musim kemarau tahun lalu.

"Sudah berapa lama kita bersama?". Tanyanya.
"Sehari setelah pertemuan dikedai buku itu, tiga tahun lalu". Jawabku dengan ingatan.
"Dan bahkan kau belum mengenalku".
"Denga cara seperti itu kau menilaiku?". Kataku. "Kau lupa, jika ingatanku lebih tajam darimu? Kalimat sampah yang kau retaskan di telingaku!". Aku menahan nafas, berusaha lebih tenang dari laut yang tercemar limbah pabrik.
"Kau hanya mendengar menggunakan telinga, seharunya kau mengunyahnya mengunakan kepala dan hati".

Langit seketika berwarna-warni tepat pukul 00.00. Suara-suara ledakan itu tak akan habis beberapa hari kemudian. Jalan yang dibanjiri manusia. Bahkan aku berdiri didepan lelaki yang aku kenal empat bulan lalu. Seperti inikah pergantian tahun? Tanyaku pada diri sendiri. Sebelum kembang api terakhir tersulut api, ia menggengam tanganku dengan sorot mata yang tulus. Seperti sebuah penantian berencana. Senyumnya yang memesona, membuatku untuk tidak memejamkan mata saat itu.

"Jika aku membakar kembang api terakhir ini, itu setelah mendengar jawabanmu". katanya dengan lembut.

Aku berusaha membalas senyumnya dan tetap diam. Bukannya aku tak memiliki jawaban, hanya saja, aku tak suka mengulang satu kata untuk pertanyaan yang sama.

"Apa kau tak ingin kembang api ini ikut mewarnai langit?" Katanya sembari menggoyangkan tangan kananku.
"Aku hanya tak ingin melihat burung-burung itu mati esok pagi".

Sore itu di bangku yang sama. Aku melihat sosok yang membuatku bahagia. Lelaki yang kukenal selama dua tahun lebih. Tawanya yang renyah tak berubah setelah ia kembali dari rantau. Terkadang aku sangat merindukannya, membuatnya cemburu untuk mendengarnya berceloteh tentang logika. Aku tak sepenuhnya membutuhkan logika, karena aku tahu, yang membuat seseorang cemburu bukanlah logika, tetapi perasaan.

"Kenapa kau berpikiran bahwa aku mendiskripsikan kalimatmu tanpa menggunakan hati?". Balasku dengan nada sedikit kesal.
"Karena kau tak mendengar semuanya". Katanya.
"Itu sudah cukup untuk membuatku menjauh".
"Hanya itu saja?".
"Kalimat yang tak seharusnya kau katakan".
"Hanya karena kalimat kita terbakar?"
"Apa aku harus mengulangnya?". Suaraku meninggi.
"Seharunya kau sudah melupakannya". Jawabnya dengan nada harap.
"Setahun ini aku ingin senang-senang, karena setahun belakang ini saya terlalu memprioritaskanmu". Kataku mengulang kalimatnya beberapa bulan lalu. "Bahkan kau tak mengerti dengan kalimatmu sendiri".

Setelah sore itu, tak ada lagi tawa renyah yang terdengar. Bahkan kisah-kisah itu. Tentang kekasih angin yang membelai lembut pucuk pohon. Jejak tak terlihat sepanjang kilometer empat. Rumput yang mengering dihalaman 'Halo, Aku Di Dalam Novel'. Dan tentang Dewi Athena yang lahir dikepala Zeus. Entah bagaimana caranya, aku harus menguburnya bersama kisah-kisah yang lain. Yang membuat ususku terburai keluar menjadi pintalan laba-laba.

"Hanya karena burung-burung?" . Katanya. "Aku hanya ingin mendengar jawabanmu malam ini". Katanya dengan sorot mata penuh harap.

Akhir aku punya alasan untuk memejamkan mata. Senyum lembut itu redup. Tapi letusan kembang api tak berhenti. Bahkan langit makin berwarna. Dan berasap. Aku terdiam. Bukan tak ingin menjawab. Aku hanya berpikir sejenak, dengan cara seperti inikah kita merasakan kesenangan?

"Apa kau tak mencintaiku, suci?". Katanya sembari menggenggam kedua pergelangan tanganku.

Kembang api yang sedari tadi ditangannya kini lepas. Jatuh tepat digenangan air. Basah. Tentu saja itu tak akan bisa ikut mewarnai langit. Meledak dilangit. Dimalam pergantian tahun baru.

"Aku hanya mencintaimu, tidak memintamu mencintaiku".

Kadang-kadang kita butuh jawaban jujur disaat akhir...