Rabu, 01 Oktober 2014

Aminor

Ia yang sore itu ditengah kerumunan demonstran. Aku yang sore itu diantara mereka. Seperti biasa, mataku yang nakal selalu cepat merespon hal-hal yang indah dalam situasi genting sekalipun. Tampak sederhana dengan senyum yang tak mengada. Beberapa kali meliriknya tetap saja merasa kurang. Penasaran pun itu datang tak di undang, ada getar yang entah kenapa saat memandang kearahnya. Hingga bubar karena bentrokan dengan sekumpulan orang yang aneh. Menurut kami mereka itu aneh, mungkin menurut mereka, kami juga ini aneh.

Selalu ada kekuatan untuk sesuatu yang penasaran. Cukup sekali bertanya, dengan orang yang tepat, nama yang kau inginkan melekat seketika dikepala. Dan percayalah, mesin pencari manusia nomor satu bukan lagi barang langka. Senang pun tiba secepat aku menemukannya di obrolan sosial media. Bertukar link Blog yang sama-sama ingin dikritisi kemudian merembes pada hal-hal yang lebih menarik. Malam itu pun aku membacamu lebih dari 'Cantik Itu Luka'. Kau menyebutku Si Penggoda. Aku tertawa. Kita tertawa diantara 'perang yang tak akan pernah kita menangkan', budaya patriarki dan hirarki, kesetaraan gender hingga kelamin yang terjaga. Sekalipun diawali oleh kecurigaan bahwa aku seorang Intel, seketika bibir ini berpacu dengan otak kiri kemudian bernyanyi dalam hati salah satu lagu dari Social-D.

Making believe, I'll spend my lifetime, loving you and making believe...

Tapi tetap saja, cinta bukan gelas yang berisi kopi panas kemudian menyeduhnya dengan terburu-buru. Jika tak sabar maka Ia membuat lidahmu melepuh. Butuh waktu untuk bisa merangkai sedikit demi sedikit puzzle yang terbuat dari perasaan ini hingga mendapat sedikit kepercayaan. Dan waktu pun serasa tak cukup hanya untuk sekedar berbagi cerita satu sama lain. Saling melempar dialoq panjang kali lebar yang berujung rasa kantuk di subuh hari. Berhari-hari hingga tak adalagi yang tertutupi, kata-kata itu pun telanjang tanpa batas. Berlari sesuka hati, menerobos makna cinta itu sendiri.

Lalu kita mulai ditumbuhi bunga-bunga mekar serupa taman yang di tinggal pergi pemiliknya. Menatanya perlahan-lahan hingga membentuk sebuah jalinan abu-abu yang menjadi kisah penuh warna. Kisah bunga tak bertangkai dengan ribuan warna. Ia tak membutuhkan tangkai untuk menjadi indah, yang Ia butuhkan hanyalah semangat. Begitupun aku padamu, tak ada alasan untuk mencintaimu. Yang ada hanya rasa percaya, bahwa kedatanganku bukan untuk menghisap sarimu kemudian terbang ketempat lain, karena aku adalah gembok dengan ribuan kunci yang menjaga merah sagamu.

***

Dan ketika hawa subuh yang memanas saat itu. Kita berseluncur basah disudut gelap diantara tidur yang tak terjaga. Beradu rasa dengan bisik-bisik suara. Bersuara parau. Menit demi menit yang begitu tegang. Hingga akhirnya kita berdua berdiri di tempat yang sama. Di tempat yang membuat mata perih oleh asap. Mundur oleh asap. Ada khawatir yang begitu jelas antara kita. Terpisah oleh kawanan yang berhamburan. Dan rasa panik hilang saat kau melambaikan tangan di bawah pohon beringin. Cara membalas lega pun hanya dengan senyum, lalu menuju ruang tak di sangka. Ruang yang membuat kita menyatu dalam subur. Begitu erat hingga tak ada lagi waktu yang berjalan. Hanya deru nafas yang bergitu cepat. Deru nafas yang menciptakan cerita bahwa Aminor tak selamanya sedih dan kelam. Dan kita berdua tahu bahwa kepala kita tidak perlu tahu kesepakatan hati kita. Karena cinta yang baik lebih membutuhkan perasaan, bukan isi kepala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar