Kamis, 01 Agustus 2013

Disleksia

Sebulan abu-abu telah berlalu. Jejak pula mengenang mata merah yang basah terlalu. Lalu berkabut di antara blackhole yang menelan cahaya dan abu. Apa mungkin ada lidah yang terkontaminasi oleh uranium kemudian membuat telingamu remuk oleh radiasi? Atau karena kita mahluk yang memiliki neuron dan memilah memisahkan yang kiri dan kanan? logika dan perasaan? Don't blame love. Difference is reasonable and error is alive

Seperti cerita, kita lahir dari impian. Tak ada dingin yang berani merobek tulang sum-sum. Tak ada pula yang ingin mati oleh karakternya sendiri. Bahkan rasanya tak serupa menjilati lolipop sembari berayun dihalaman yang di penuhi coklat. Bukankah kita tak pernah bertualang hingga ke Taman Hershey? Kilat memecut langit yang kemarin menelan kupu-kupu.

Dunia kita berputar. Kadang berbenturan. Menerjemahkan waktu. Dari sapu lidi, cacing tanah hingga athena. dari pinggir got hingga di balik pintu kamar. Hingga berakhirnya musim hujan yang bergaun hitam. Dan lelaki itu memiliki rindu yang menghembuskan angin.

Beberapa kali terdiam menatap boneka hantu yang menempel di dinding tempat kita berbagi. Pandangan yang kosong seolah tak ingin kembali. Dan terjadi. Hanya saja tak ada hubungannya dengan boneka yang tak ingin aku kubur bersama matahari. Percayalah, cinta dan perasaan itu tak sama, serupa pisau dapur dan belati. Namun keduanya mampu melukai tapi belum tentu bisa membunuh. Tenggelamkan matahari dan dengarkan suara kaleng pembunuh sepi bergema hingga ke pori-porimu.

Hening telah berlalu...

Lelaki itu selalu bercerita tentang keinginannya. Merobohkan menara kerajaan langit. Mengalahkan para ksatria templar. Dan menantang pemaham sefiroth. Dan kau sudah tahu jika ia bukan lelaki yang duduk di antara... sudahlah. Itu akan terdengar sangat basi setelah kau tahu tentang Ucu Agustine. Si alien yang baik hati. Mungkin juga ia adalah vampire.

Kita bukan manufaktur yang berbahagia. Bukan pula selfis yang dirundung duka lara yang berlebihan. Kita adalah spektrum warna pelangi yang tak memperdebatkan kesedihan, bukan? Iyakan, Disleksia?



Jumat, 18 Januari 2013

Twenty one's die

Ada matahari menghampiri ranjang. Petang menjelang. Gelap datang.

Wajah-wajah kemarin berhamburan. Serupa cermin menghantam lantai. Di tengah musim hujan. Bersamaan dengan menghilangnya suara tawa keras menembus langit.

Dering memecah hening. Percakapan tentang sesuatu yang terlewati. Bukan sesuatu yang berubah. Andai saja, malam itu ujung pena tak menusuk kepala dan leleran tintanya tak menyatu dengan darah dalam tubuh, Pasti cupid tak mematahkan anak busurnya.

"Setiap kronologi kejadian pasti ada sebabnya. Dunia ini berputar. Maka itu perubahan menjadi abadi. Kecuali liur yang liar masih tersimpan rapi dalam benak. Dan kesempurnaan cuma ilusi. Hanya perasaan bersyukur yang menghancurkannya."


Sebelum lulabi mendekap gambar-gambar dalam ingatan. Sebagiannya telah terbakar. Di dalam sana. Warna langit biru terang. Matahari terlihat sebagian. Awan pelan beriringan. Selalu ada suara. Tentang terik yang membelah kepala. Merobek kulit. Dan seruan buru-buru berada dalam kamar tengah. Depan kipas angin. Yang angka satu dan duanya tak berfungsi lagi. Ada ribuan kunang-kunang yang menjadi kenangan. Sekalipun pelajaran tentang kejauhan mengikisnya. Layaknya tetesan sisa hujan kepada batu-batu kali.

Dan untuk Disleksia, percayalah, langit tak akan menelan kupu-kupu yang membuat kita tertawa. Kemarin. Sebab esok telah kau makamkan pada lubang kekeliruan. Di lain kesempatan akan kulukiskan dalam tulisan tentangmu yang mungkin telah merajut cerita taman dengan satu bunga kesukaanmu. Tentu saja melebihi "si bunga bangkai". Titip salam buat rambut panjang, jempol dan tangis yang ter-rindukan. -Goodbye Goodboy-.