Minggu, 19 Oktober 2014

Neila...

"Sayang, kamu sudah bangun? Hari ini jadi ke Risma kan?"

Mataku masih sayup. Siang itu pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Bias matahari tak pernah sampai kedalam kamarku. Mengatur nafas sebelum meninggalkan tempat tidur adalah kebiasaanku. Lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka-kemudian kedapur meneguk segelas air putih. Ternyata sudah dua panggilan tak terjawab di layar handphone.

"Sorry sayang, aku baru bangun. Iya, pesanannya hari ini sudah jadi. Kamu jemput aku?"

"Pemalas! Iya, ini sudah siap."

"Sms kalau sudah ingin menuju kesini."

"Ini juga sudah mau jalan."

"Oke. Aku mandi sekarang :*"


Setelah beberapa menit kemudian, aku pun sudah siap. Menunggu Neila di ruang tamu sembari menyeruput kopi yang baru saja bercampur air panas. Hari ini akan tampak melelahkan, bukan hanya mengambil pesanan gaun saja, tapi menyebarkan undangan pernikahan kami kepada beberapa teman dekat. Kemudian menuju lokasi untuk pemotretan pra-wedding kami saat sunset di tepi dermaga salah satu pantai kota ini. Kopi pun sisa setengah, dan ini batang ketiga rokok yang terbakar. Seperti biasa, aku selalu maklum pada Neila yang selalu telat. Sesaat setelah rokok batang ketiga telah habis terhisap, akhirnya Neila datang. Kami pun langsung berangkat mengendarai roda dua dengan warna merah saga milik Neila.

Di tengah perjalanan, sms Risma masuk. "Gio, maaf, saya lagi diluar urus kiriman di bandara. Datangnya malam aja yah."

"Okey, Ris." Balasku dengan tangan kiri.

"Jadi, kita nyebarin undangan dulu?" Tanya Neila sembari tangannya melingkar di perutku.

"Iya sayang." Balasku dengan tangan kiri mengusap tangannya yang menempel diperutku.

Hari itu cuaca sangat panas. Beruntung, karena kali ini aku memakai sepatu. Tidak seperti biasanya yang hanya memakai sendal jepit jika keluar rumah. Sekalipun ke acara nikahan. Setelah selesai kesana-kemari, keluar masuk rumah teman dekat menyebar undangan. Pukul tiga lewat lima belas menit, perutku keroncongan. Pikirku masih sempat untuk singgah mengisi perut di warung makan pinggir jalan. Akhirnya kami memutuskan untuk menikmati coto Pettarani. Didalam warung itu Neila tampak begitu cantik, ia berseri.

"Minggu depan kita sudah tidak bertemu lagi yah?" Tiba-tiba Neila bertanya.

"Kan cuma seminggu, sayang."

"Rasanya setahun."

"Aku langsung merasa kenyang digombal sama kamu."

"hahahaha"


Neila tertawa lepas. Ia selalu lupa jika tertawa, lupa jika sekelilingnya menoleh kearahnya. Saat itu, aku memandangnya, mengingat kembali saat pertama kali berjumpa di bawah Flyover. Ketika itu ada aksi untuk warga Rembang dan Karawang yang tergusur. Empat tahun telah kami lalui dengan suka duka. Yang awalnya aku tak direstui kedua orang tuanya karena seorang pengangguran. Hanya perasaan yang kuatlah hingga kami akan bersatu dipelaminan dua minggu kedepan. Setelah makanan habis, kami melanjutkan perjalanan hari ini. Yaitu menuju lokasi pemotretan. Dua teman kami telah tiba lebih dulu dilokasi. Beberapa menit kemudian, kami pun telah tiba. Suasananya sungguh tepat, saat itu pengunjung sepi. Dan cuaca yang mendukung. Tak lama lagi sunset akan terlihat. Aku dan Neila bergegas untuk mengganti pakaian. Ada dua kostum yang Neila sendiri persiapkan. Yang pertama : Konstumnya hitam-hitam. Dan kedua : Kostumnya Putih-putih. Setelah beberapa kali pengambilan gambar, Sunset pun bertukar dengan senja kelabu. Diturunkannya tirai malam dengan bulan dan bintang. Kami pun bersiap-siap untuk menuju tempat Risma.


Sekitar pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, kami pun tiba di tempat Risma. Ada lelah yang terbersit diwajah Neila. Bayangkan saja, seharian kami berdua berada dijalan. Kesana-kemari. Tapi saat Risma memamerkan gaun buatannya kepada kami, terlihat Neila kembali bersemangat. Bahkan ia langsung melompat kearah Risma. Gaun putih itu sungguh sangat cantik. Neila langsung mencobanya. Ia memasuki satu-satunya kamar di tempat itu. Bergegas melepas pakaiannya, dan menggunakan gaun putih buatan Risma tersebut. Kurang dari lima menit, Neila pun keluar dari kamar. Mataku terperangah, Neila sangat... Ia seperti bercahaya. Pikirku dalam hati, seperti ini saja ia nampak cantik, bagaimana jika sudah didandani minggu depan?

"Kok menganga begitu, sayang? Kagum yah? hahaha..."

"Ih pede kamu."
Serentak Neila dan Risma tertawa karena melihat aku menyembunyikan pandanganku pada Neila yang sangat cantik dengan gaun putih itu. Aku hanya senyam-senyum salah tingkah.

Akhirnya kami ngobrol-ngobrol beberapa saat dengan Risma, tentang pernikahan kami. Kebetulan, Risma sendiri yang akan memoles wajah Neila dan tentunya juga aku di hari-H. Dan tak terasa jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh menit. Kami pun pamit kepada Risma, dan berterima kasih banyak atas gaun putihnya yang sangat cantik.

Dijalan, Neila sangat girang. Ia memeluk bungkusan gaunnya. Ia bercerita bahwa saat pesta, aku akan melihat peri turun dari langit. Peri itu akan berdampingan denganku. Seekor peri putih yang bercahaya, seperti aurora. Aku hanya tersenyum dan mengelus lututnya sebagai rasa syukurku-bahwa kami akan hidup bersama juga. Mengarungi samudera rumah tangga dengan suka duka.

Aku menatap Neila melalui kaca spion sebelah kiri, ia masih bercerita, bahwa peri tersebut akan selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Peri yang tak pernah melukaiku, karena ia diciptakan hanya untukku. Karena peri itu diciptakan hanya untukku. Karena Neila diciptakan hanya untuk Gio. Lalu datang cahaya dari sisi kiri, yang lebih terang dari cerita Neila tentang peri yang cantik dan baik hati itu. Peri yang tak pernah meninggalkanku.

Tiba-tiba jalan begitu macet. Kendaraan berhimpitan, padahal ini sudah larut. Kami berusaha keluar dari kemacetan yang lumayan panjang. Tapi Neila sudah tidak bercerita lagi tentang peri khayalannya. Mungkin ia begitu lelah. Gaunnya masih berada dalam rangkulannya.

Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk lepas dari kemacetan tersebut. Hingga angin terasa sangat dingin. Tapi tak terasa hingga ke tulang. Saat melewati Flyover, tempat dimana kami bertemu, aku menoleh kebelakang, dan Neila tersenyum. Ia langsung memelukku sangat erat. Tapi tidak menghilangkan hawa dingin disekujur tubuh. Setiba dirumah, kami tidak menemukan seorang pun. Tapi tak ada pintu terkunci. Akhirnya aku menyuruh Neila untuk balik.

Hampir setiap malam aku menyuruh Neila untuk balik. Setiap jam sepuluh malam, saat ia datang, aku pasti menyuruhnya untuk balik. "Ini sudah jam sepuluh malam sayang, nanti Ibu mencarimu." Seperti itulah jika Neila mendatangiku. Aku pasti menyuruhnya untuk balik. Balik dan balik. Aku tak ingin jika Ibunya semakin khawatir. Hingga suatu malam, aku mendengar di ruang tamu Ibu menangis, Ibu Neila juga menangis. Aku tak tahu kenapa mereka menangis. Bukankah aku dan Neila akan menikah minggu depan?

"Seperti itulah keadaan Gio, Bu Lina. Setelah kejadian tiga bulan lalu. Aku mengutuk sopir truk itu, ia yang membuat hidup anakku seperti ini. Ia yang membuat Neila pergi untuk selamanya, dan ia pulalah yang mebuat Gio harus dipasung di kamar tengah itu."

Tangis pun pecah. Aku mendengarnya, suara tangis itu. Bukan, bukan. Bukan suara tangis dari Ibu kami. Aku tahu, itu suara tangis Neila. "Pulanglah, sayang. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, Ibu nanti mencarimu. Pulanglah, Neilaku sayang."

Rabu, 01 Oktober 2014

Aminor

Ia yang sore itu ditengah kerumunan demonstran. Aku yang sore itu diantara mereka. Seperti biasa, mataku yang nakal selalu cepat merespon hal-hal yang indah dalam situasi genting sekalipun. Tampak sederhana dengan senyum yang tak mengada. Beberapa kali meliriknya tetap saja merasa kurang. Penasaran pun itu datang tak di undang, ada getar yang entah kenapa saat memandang kearahnya. Hingga bubar karena bentrokan dengan sekumpulan orang yang aneh. Menurut kami mereka itu aneh, mungkin menurut mereka, kami juga ini aneh.

Selalu ada kekuatan untuk sesuatu yang penasaran. Cukup sekali bertanya, dengan orang yang tepat, nama yang kau inginkan melekat seketika dikepala. Dan percayalah, mesin pencari manusia nomor satu bukan lagi barang langka. Senang pun tiba secepat aku menemukannya di obrolan sosial media. Bertukar link Blog yang sama-sama ingin dikritisi kemudian merembes pada hal-hal yang lebih menarik. Malam itu pun aku membacamu lebih dari 'Cantik Itu Luka'. Kau menyebutku Si Penggoda. Aku tertawa. Kita tertawa diantara 'perang yang tak akan pernah kita menangkan', budaya patriarki dan hirarki, kesetaraan gender hingga kelamin yang terjaga. Sekalipun diawali oleh kecurigaan bahwa aku seorang Intel, seketika bibir ini berpacu dengan otak kiri kemudian bernyanyi dalam hati salah satu lagu dari Social-D.

Making believe, I'll spend my lifetime, loving you and making believe...

Tapi tetap saja, cinta bukan gelas yang berisi kopi panas kemudian menyeduhnya dengan terburu-buru. Jika tak sabar maka Ia membuat lidahmu melepuh. Butuh waktu untuk bisa merangkai sedikit demi sedikit puzzle yang terbuat dari perasaan ini hingga mendapat sedikit kepercayaan. Dan waktu pun serasa tak cukup hanya untuk sekedar berbagi cerita satu sama lain. Saling melempar dialoq panjang kali lebar yang berujung rasa kantuk di subuh hari. Berhari-hari hingga tak adalagi yang tertutupi, kata-kata itu pun telanjang tanpa batas. Berlari sesuka hati, menerobos makna cinta itu sendiri.

Lalu kita mulai ditumbuhi bunga-bunga mekar serupa taman yang di tinggal pergi pemiliknya. Menatanya perlahan-lahan hingga membentuk sebuah jalinan abu-abu yang menjadi kisah penuh warna. Kisah bunga tak bertangkai dengan ribuan warna. Ia tak membutuhkan tangkai untuk menjadi indah, yang Ia butuhkan hanyalah semangat. Begitupun aku padamu, tak ada alasan untuk mencintaimu. Yang ada hanya rasa percaya, bahwa kedatanganku bukan untuk menghisap sarimu kemudian terbang ketempat lain, karena aku adalah gembok dengan ribuan kunci yang menjaga merah sagamu.

***

Dan ketika hawa subuh yang memanas saat itu. Kita berseluncur basah disudut gelap diantara tidur yang tak terjaga. Beradu rasa dengan bisik-bisik suara. Bersuara parau. Menit demi menit yang begitu tegang. Hingga akhirnya kita berdua berdiri di tempat yang sama. Di tempat yang membuat mata perih oleh asap. Mundur oleh asap. Ada khawatir yang begitu jelas antara kita. Terpisah oleh kawanan yang berhamburan. Dan rasa panik hilang saat kau melambaikan tangan di bawah pohon beringin. Cara membalas lega pun hanya dengan senyum, lalu menuju ruang tak di sangka. Ruang yang membuat kita menyatu dalam subur. Begitu erat hingga tak ada lagi waktu yang berjalan. Hanya deru nafas yang bergitu cepat. Deru nafas yang menciptakan cerita bahwa Aminor tak selamanya sedih dan kelam. Dan kita berdua tahu bahwa kepala kita tidak perlu tahu kesepakatan hati kita. Karena cinta yang baik lebih membutuhkan perasaan, bukan isi kepala.