Minggu, 28 September 2014

Dari Memorabilia Hingga Kun Fayakun.

Melipat September dengan romantisme ilegal. Belum sekali pun turun hujan. Hanya saja, tanah tempat kaki mereka berpijak begitu basah. Oleh marah. Apa kalian pikir, bahwa ranjau adalah bagian dari instrument? Kita bertemu pada garis yang tak sejajar. Mengimbanginya dengan gurihnya cerita. Merangkai Kun hingga Fayakun. Dan kau, yang kelak kami panggil Aminor, tabahlah akan waktu yang membuatmu berada di atas garis-garis tangan orang lain.

Tempo hari aku bercerita tentang sesuatu yang nisbi. Sesuatu yang turun runcing dan tajam. Mendarat di lantai hati. Membuat jalan menyeringai jadi rintangan. Yang membuat kita berdua, menolak menjadi cahaya artifisial. Tentang isme-isme yang berhamburan di kepala. Bahwa kita adalah seberkas permainan semesta. Diracuni pengetahuan. Di nina-bobokan pemahaman. Bukankah kita menyatu dalam subur, karena perasaan? Hingga di kemudian hari, peristiwa ini akan patut dikenang.

Kita akan menari, melewati retakan ini. Berdansa pada situasi yang kikuk. Sekalipun harus dicacah sudut. Dipantulkan kondisi ke segala arah. Hingga remuk pun, bukanlah sebuah alasan untuk menyerah. Aku tak ingin gerakku tergenang kering dalam kata-kata saja.
Hingga tak bisa membedakan garis tipis antara naif dan moron. Serupa roller coaster, tapi aku menolak untuk sekedar teriak. Karena kau sudah tahu, aku pun sudah tahu, bahwa tak ada angin canggung yang berani lewat dihadapan kita. Lepas begitu saja. Tak perlu merapalkan doa hanya untuk melihat langit yang mulai menghitam.

Hingga di suatu pagi, saat kado yang terbungkus pelangi itu terbuka. Kita akan bebas melayang, bergerak sesuka hati, berputar tanpa pusing, menari tak perlu irama, terbang seakan tak ada gravitasi dan jungkir balik pun begitu menyenangkan. Tak akan ada lagi cahaya yang redup. Tak juga membiarkan waktu berjalan menggunakan sepatu dengan tali merah. Dan juga tak akan ada yang membuatmu terisak disudut kamar. Karena saat itu, aku akan memiliki sayap yang membawaku terbang ke Dunia Aux. Sayap yang kudapatkan saat semua yang hadir di belakang kita serentak berkata : SAH!!!

Kamis, 18 September 2014

Bayang-bayangku Di Dalam Matamu

Senja menjadi alarm untuk beranjak. Jejak di taman menjadi acak. Sajak yang tak mengenal jarak. Seperti arak, kita berdua mabuk kepayang. Kau menamaiku rasa. Aku menyebutmu rindu. Kita menjuntai kepucuk awan. Melebur pada tanah. Menjadi daun pada tangkai yang sama. Dimatamu aku melihat muara. Dimataku kau mendengar suara. Yang kemudian merekah di telingamu. Hingga bergetar di dada. Jika sesuatu yang besar akan datang bersama angin. Siapkah kau mendengar kisah sepasang kunang-kunang, yang hidup di belantara hutan-hutan lama di Antiochia? Tempat dimana mereka tak saling mengenal satu sama lain. Mereka saling melupakan, sekalipun berwarna sama. Kesalahannya, karena mereka tak membuat pilihan, hutan mana yang di tujunya. Cuaca malam hari yang tak membuat mereka menjadi terang. Tanah di hutan itu adalah perkara sebenarnya. Tak ada jalan keluar, kecuali menikmatinya. Maka bernafaslah dalam-dalam sebelum menyelam.

Riak-riak air matamu terbaca. Menafsirkannya di tengah ranjang. Jawabannya sama saja, malam yang terluka dan bulan yang terbelah dua. Hanya saja aku percaya, bayang-bayangku ada di dalam matamu.

Rabu, 17 September 2014

Sisa Rumah Pohon Pisang


Pagi itu saat langit masih mentah. Akan kuingat sepanjang hidupku.

Mataku yang sembab tak sempat tersentuh air. Didalamnya, robot kuning berjalan menuju tempat kami, tempat bermain dengan peri okeanida. Tapi aku tidak khawatir sedikit pun, peri itu bisa terbang menembus awan. Ia juga bisa menghilang atau bersembunyi dalam batang pohon jambu. Bahkan jika Ia ingin, sekali kepakkan sayapnya robot itu akan hancur berkeping-keping. Aku berharap peri okeanida ada di sekitar sini. Hingga aku tak perlu bercerita panjang lebar saat bertemu dengannya. Semoga Ia tak di marahi Ibunya yang selalu ngomel karena berteman denganku. Ibu peri yang melarang anaknya bermain petak umpet dengan teman-temanku.

Lamunanku buyar tentang teman periku yang rumahnya berada di kompleks sebelah, saat robot besar berwarna kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya semakin mendekat. Perasaanku sedari tadi tak karuan. Sepasang kaki ini kaku. Begitu pun dengan wajahku. Senyumanku hilang saat orang lain-lain serentak berdatangan. Langkahnya bagai gemuruh dilangit kelam. Bahkan saat aku mulai mengerti mengapa sebagian orang di sekitarku mengeluarkan air mata bukan karena asap putih itu. Melainkan saat ayunan pertama dari moncong robot itu. Suara-suara berhamburan terasa sesak didalam dada. Aku bahkan tak mengerti, kenapa aku mendengar menggunakan hati bukan telinga.

Satu persatu tempat tinggal kami roboh oleh moncong itu. Aku heran, mengapa Ia tak memakannya saja atau menyedotnya hinggat habis. Mungkin Ia dan kawan-kawannya lupa, jika menyisahkan remah-remah, akan datang koloni semut merah yang lebih marah lagi. Seketika semuanya rata dengan tanah. Dari dinding hingga lantai dada ini semakin sesak. Bibirku bergetar. Perlahan-lahan air mataku membuat garis lurus di kedua pipi. Riuh teriakan dari segala arah. Aku pikir itu adalah permohonan dari sumur yang terkena runtuhan atau mungkin cacian sisa rumah pohon pisang kepada robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya. Tiba-tiba aku ingat huruf-huruf yang tertempel di dinding sekolahku. tepatnya, rumah yang di jadikan sekolah. Ternyata Ia juga bernasib sama dengan yang di sekelilingnya. Huruf-huruf yang mengenalkanku bahwa "Budi itu anaknya Bapak dan Ibu Budi. Bahwa "Kaki tidak digunakan untuk makan". Atau mungkin saja kelak, huruf-huruf itulah yang memberitahuku bahwa "Karena Penggusuran Ada Dimana-mana Maka Perlawanan Juga Harus Ada Dimana-mana", mungkin saja. Setelah huruf-huruf itu, aku mengingat buku yang ku tempati menggambar. Aku senang menggambar rumah. Akan aku penuhi warna. Tempat menyimpan semua kebahagiaan. Rumah yang aku bangun oleh telunjuk dan jempol. Anehnya, mengapa mereka menggunakan robot sebesar itu untuk menghancurkannya? Sepertinya mereka tidak senang dengan gambaranku. Jangankan itu, pakaianku pun mereka tidak mengizinkan untuk mengambilnya. Padahal mereka tidak mengambilnya, hanya membiarkannya terhimpit reruntuhan yang dibuatnya. Sepertinya mereka membenciku.


Aku mengenang langit pagi empat hari yang lalu. Saat dunia mengkhianati, saat itu pula aku bermain di atas tanah yang beberapa hari lalu berdiri sekalipun tak kokoh. Robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya sudah tak ada. Mereka membangun dinding yang menyilaukan mata saat matahari di atas ubun-ubun. Perkiraanku benar, mereka lupa mengambil senyumku dan senyum teman-temanku. Mereka juga lupa meruntuhkan semangat Ibu, Ayah dan kawan-kawannya. Sehingga kami masih tetap berada di sini. Bersama teman-temanku, kami bermain. Ia mengejarku, melempariku gas air mata, aku berlari sembari melemparinya batu. Mataku mulai kepedisan, tapi aku tidak bersembunyi dibalik kardus yang di jadikannya tameng. Bukankah itu tindakan pengecut? Melempariku gas air mata sebari sembunyi di belakang tameng.

Senja pun tiba. Warna langit merah saga. Kedua kaki-ku berdebu. Sisa rumah pohon pisang akan kedinginan. Tak ada lampu di reruntuhan. Ibu mandi di sumur yang selamat. Begitu pun dengan Ayah. Aku pun mandi disitu. Begitu pun teman-temanku. Dan semua yang pernah bermukim di atas tanah itu.

Cahaya bulan mulai nampak. Bias lampu dari rumah-rumah seberang membuatku terduduk di bawah tenda berwarna biru. Pikiranku menerawang kebelakang dinding baru itu. Perasaanku mengatakan, yang membuat dinding itu adalah mereka sekumpulan orang jahat. Memisahkan kami dari kehidupan yang layak. Dari kenangan-kengan yang membatu di dalam rumah. Apakah mereka iblis? Kemana pula peri okeanida, tak jua menampakkan dirinya lagi? Jika Tuhan mendengar doaku yang tak khusyuk ini, aku hanya berharap, tak akan ada lagi yang meninggalkan kami selain peri okeanida. Biarkanlah hujan saja yang reda.

Ada kelelahan bersemahyang dalam tubuhku. Ia butuh istirahat. Sama halnya dengan perutku jika keroncongan. Ia butuh makan. Maka terlelap dengan teka-teki kehidupan yang tak sanggup aku pikir saat ini adalah keharusan. Sebab esok, pagi akan menuntunku untuk melihat langit yang masih mentah. Disitu, akan kembali kuingat sepanjang hidupku. Sepanjang hidupku!





Sabtu, 06 September 2014

Too Drunk To Vote!

Pemilu telah membuat hegemoni yang membuat kita lupa, bahwa kita sedang tertipu. Paradigma "dominasi investor" hanya menguntungkan pemerintah dan pengusaha. Sedangkan rakyat lokal menjadi korban. Korupsi di Indonesia adalah struktural perumus kebijakan tidak pro-publik. Kemiskinan di indonesia sebagian besar adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial membuatnya miskin. Ilusi demokrasi melalui pemilu dengan politik transaksional. Harus diingat bahwa pencapaian dalam bentuk angka di pemilu hanya simbolistis saja. kenapa? Karena bukan itu substansinya. Pemilu hanya merubah nasib Caleg dan Parpol yang lolos, bukan rakyat. Kita semua tahu, saat kampanye, kalian hanya dilihat sebagai massa dan saat pemilu, kalian hanya sekedar angka-angka semata. Hanya sekedar angka-angka semata!