Minggu, 17 Agustus 2014

Betapa Menyedihkannya Menjadi Apatis

Saya adalah seorang apatis terhadap sesuatu yang mungkin atau memang tidak menguntungkan bagi diriku. Paling tidak simbiosis mutualisme harus berdiri tegak dalam hidupku dan memang itulah yang terjadi. Apa yang kulakukan untuk orang lain harus punya timbal balik yang sepadam, dimana sistem telah menjadi rantai kehidupan yang mengcekik leherku hingga nyaris putus saat pagi hari tanpa sarapan, begitu pun di saat siang, dan malam hari. Bahkan saat kita tidur pun sistemlah yang menyanyikan Twinkel-Twinkel Little Star. Belum lagi akses internet yang membuatku wajib untuk mengupdate status biar kelihatan hidup sehidup-hidupnya, pakaian yang kugunakan pun harus sesuai dengan jamannya, mulai dari merek A hingga Z atau seberapa canggih layar sentuh dan tombol querty yang akan mengangkat status sosialku di dalam lingkungan sekitarku. Yah, seperti itulah sistem berjalan, kita dibuat menjadi sebuah nilai dari angka-angka yang fungsinya hanya sebagai nilai tukar saja. Kemajemukan ilusi.

Saya adalah seorang apatis, termasuk dalam pembahasan hingga keharusan berkontribusi terhadap pemilu yang di sebut 'hak suara'. Menjadi masyarakat beradab bukan hanya dengan jalan melanggengkan langkah-langkah korporasi meluruskan cita-citanya untuk mengeruk dan merampok apa yang bukan miliknya untuk kepentingannya semata. Ada hal yang membuatku kadang merasa mual ketika membuka beranda Facebook, ada puluhan akun yang melakukan ritual pemujaan terhadap jagoannya, ada pula yang melakukan Black Campaign sejenis sumpah serapah hingga perdebatan tanpa ujung. Atau ketakutan-ketakutan yang lahir jika Si Militerisme, karena di belakangnya ada ribuan fundies yang siap menjadikan negara ini menjadi 'suci'. Atau ketakutan bahwa kita menjadi budak militer? Di culik? Di lenyapkan? Hello, bukankah itu semua sudah terjadi dari bertahun-tahun lalu? Ayolah sayang, bukan itu yang membuatmu harus menjadi api kemudian padam oleh debu.


Saya adalah apatis pada ajang yang konon katanya paling bergensi bernama Piala Dunia 2014 yang berlangsung di Brazil, dimana 32 negara bertanding memperebutkan gelar juara 4 tahunan ini, dimana para kapitalis global berkumpul menyaksikan penggusuran, dimana riuh ratusan ribu penonton menikmati ceceran demi ceceran darah yang tumpah memperjuangkan haknya, dimana para gamblers bertaruh diatas tumpukan mayat yang tak mengerti kenapa mereka di singkirkan begitu saja hanya karena pembangunan stadion. Sepertinya Tuhan lebih apatis dariku. Sepertinya Tuhan lebih memihak kepada mereka yang memiliki kontrol penuh atas semua yang di inginkannya.

Saya adalah apatis untuk tidak menikmati sirup di siang hari pada bulan yang serentak di sucikan oleh korporasi yang mengatasnamakan ketaqwaan umat, dimana provider ponsel dan iklan rokok menjadi topeng raksasa berpayung agama untuk produk mereka, dimana Nabi, ayat suci, Tuhan dan setan menjadi komoditi di seluruh media, dimana para fundamentalis menjadikanmu haram karena warung makanmu buka di siang hari.

Saya yakin jika dari kecil setiap manusia diajari untuk 'memahami', dunia akan menjadi tempat yang 10 kali lebih baik dari hari ini. Dan tentunya tulisan sampah diatas itu tidak akan pernah ada, terlebih oleh diriku yang tak pernah berbuat apa-apa untuk hidupku apalagi untuk hidup orang lain, dan sekarang aku paham, betapa menyedihkannya menjadi apatis.