Minggu, 26 Januari 2014

Eligio...

Seperti itulah desember akhir. Basah. Penuh genangan air. Dan kau tahu, aku hanya mencintaimu, tidak memintamu mencintaiku.

Ada sesuatu didalam tenggorokanku. Aku merasakannya. Seperti pesta akhir tahun. penuh kembang api. Suara terompet dimana-mana. Langit yang berwarna-warni. Jalan protokol menjadi pasar malam semalam. Aku merasakannya, tidak memilikinya.

Sebelum aku melihat kau membakar kembang api ditangan kananmu yang berwarna merah gelap, angin telah membawaku melihat diriku kebelakang. Jauh disana. Sebuah tempat dimana aku merasakan cinta serupa kembang api. Terbakar dengan cepat. Seketika menyembur kelangit-langit. Bola mataku tak ingin berkedip dipenuhi warna. Tak lama kemudian redup, pelan tapi pasti. Hanya sisa asap ditelan angin. Lalu gelap. Tak ada cahaya.

Hujan kerap sempurna. Meninggalkan genangan luka. Menyisakan ingatan yang seharusnya telah kering musim kemarau tahun lalu.

"Sudah berapa lama kita bersama?". Tanyanya.
"Sehari setelah pertemuan dikedai buku itu, tiga tahun lalu". Jawabku dengan ingatan.
"Dan bahkan kau belum mengenalku".
"Denga cara seperti itu kau menilaiku?". Kataku. "Kau lupa, jika ingatanku lebih tajam darimu? Kalimat sampah yang kau retaskan di telingaku!". Aku menahan nafas, berusaha lebih tenang dari laut yang tercemar limbah pabrik.
"Kau hanya mendengar menggunakan telinga, seharunya kau mengunyahnya mengunakan kepala dan hati".

Langit seketika berwarna-warni tepat pukul 00.00. Suara-suara ledakan itu tak akan habis beberapa hari kemudian. Jalan yang dibanjiri manusia. Bahkan aku berdiri didepan lelaki yang aku kenal empat bulan lalu. Seperti inikah pergantian tahun? Tanyaku pada diri sendiri. Sebelum kembang api terakhir tersulut api, ia menggengam tanganku dengan sorot mata yang tulus. Seperti sebuah penantian berencana. Senyumnya yang memesona, membuatku untuk tidak memejamkan mata saat itu.

"Jika aku membakar kembang api terakhir ini, itu setelah mendengar jawabanmu". katanya dengan lembut.

Aku berusaha membalas senyumnya dan tetap diam. Bukannya aku tak memiliki jawaban, hanya saja, aku tak suka mengulang satu kata untuk pertanyaan yang sama.

"Apa kau tak ingin kembang api ini ikut mewarnai langit?" Katanya sembari menggoyangkan tangan kananku.
"Aku hanya tak ingin melihat burung-burung itu mati esok pagi".

Sore itu di bangku yang sama. Aku melihat sosok yang membuatku bahagia. Lelaki yang kukenal selama dua tahun lebih. Tawanya yang renyah tak berubah setelah ia kembali dari rantau. Terkadang aku sangat merindukannya, membuatnya cemburu untuk mendengarnya berceloteh tentang logika. Aku tak sepenuhnya membutuhkan logika, karena aku tahu, yang membuat seseorang cemburu bukanlah logika, tetapi perasaan.

"Kenapa kau berpikiran bahwa aku mendiskripsikan kalimatmu tanpa menggunakan hati?". Balasku dengan nada sedikit kesal.
"Karena kau tak mendengar semuanya". Katanya.
"Itu sudah cukup untuk membuatku menjauh".
"Hanya itu saja?".
"Kalimat yang tak seharusnya kau katakan".
"Hanya karena kalimat kita terbakar?"
"Apa aku harus mengulangnya?". Suaraku meninggi.
"Seharunya kau sudah melupakannya". Jawabnya dengan nada harap.
"Setahun ini aku ingin senang-senang, karena setahun belakang ini saya terlalu memprioritaskanmu". Kataku mengulang kalimatnya beberapa bulan lalu. "Bahkan kau tak mengerti dengan kalimatmu sendiri".

Setelah sore itu, tak ada lagi tawa renyah yang terdengar. Bahkan kisah-kisah itu. Tentang kekasih angin yang membelai lembut pucuk pohon. Jejak tak terlihat sepanjang kilometer empat. Rumput yang mengering dihalaman 'Halo, Aku Di Dalam Novel'. Dan tentang Dewi Athena yang lahir dikepala Zeus. Entah bagaimana caranya, aku harus menguburnya bersama kisah-kisah yang lain. Yang membuat ususku terburai keluar menjadi pintalan laba-laba.

"Hanya karena burung-burung?" . Katanya. "Aku hanya ingin mendengar jawabanmu malam ini". Katanya dengan sorot mata penuh harap.

Akhir aku punya alasan untuk memejamkan mata. Senyum lembut itu redup. Tapi letusan kembang api tak berhenti. Bahkan langit makin berwarna. Dan berasap. Aku terdiam. Bukan tak ingin menjawab. Aku hanya berpikir sejenak, dengan cara seperti inikah kita merasakan kesenangan?

"Apa kau tak mencintaiku, suci?". Katanya sembari menggenggam kedua pergelangan tanganku.

Kembang api yang sedari tadi ditangannya kini lepas. Jatuh tepat digenangan air. Basah. Tentu saja itu tak akan bisa ikut mewarnai langit. Meledak dilangit. Dimalam pergantian tahun baru.

"Aku hanya mencintaimu, tidak memintamu mencintaiku".

Kadang-kadang kita butuh jawaban jujur disaat akhir...