Kamis, 26 Juni 2014

Saudade...

Bukan tentang sesuatu yang di cat di atas kanvas atau diukir di atas batu yang kemudian kita menyebutnya seperti 'the Ghent Altarpiece' dan 'the Bruges Madonna and Child'. Ini juga bukan konvensi Jenewa atau menjadi warga Yahudi pada jaman Great War yang menantang Fuhrer, kita juga tidak menginginkan suara-suara letusan yang diciptakan nenek moyang atau hal-hal mulia dalam kitab Antaboga pada zaman Bahula yang di tulis pada daun lontar. Atau tentang menipisnya ozon, dan pekatnya karbon monoksida, yang menjadikan air polusi kita telah praktis mengubah bumi menjadi tempat yang cocok untuk kita.

Ternyata di dunia ini memang tak pernah ada yang sempurna, sayang. Ada sesuatu yang membuat sesuatu itu selalu terasa kurang. Mungkin karena kita diciptakan untuk selalu merasa tidak puas akan sesuatu yang kita miliki. Dan, jika saja cinta itu tak beralasan, bolehkah kita menamainya 'sempurna' sekalipun Ia tampak sederhana?

Aku punya ide, bagaimana kalau kita berhenti bercerita tentang basah kepada air atau berkisah tentang ribuan Torah yang di temukan dalam tambang. Anggap saja ini akan seperti Colombus dan suku Indian atau Pasukan Spanyol dan suku Inca. Kita hanya butuh suatu sikap tentang bagaimana cara pengaplikasian kisah yang belum menjadi kisah pada hari-hari esok, dimana sejumput tawa tak lekas dikenang, terlupakan kemudian terhina. Apa kau tahu, sayang? Beberapa hari ini namamu kutulis dengan huruf hijayyah menggunakan bulir hujan yang kudapati di dinding-dinding hidupku. Karena yang aku tahu, kau adalah gemercik keindahan dari kegelapan Baltik yang berkabut.