Jumat, 18 Januari 2013

Twenty one's die

Ada matahari menghampiri ranjang. Petang menjelang. Gelap datang.

Wajah-wajah kemarin berhamburan. Serupa cermin menghantam lantai. Di tengah musim hujan. Bersamaan dengan menghilangnya suara tawa keras menembus langit.

Dering memecah hening. Percakapan tentang sesuatu yang terlewati. Bukan sesuatu yang berubah. Andai saja, malam itu ujung pena tak menusuk kepala dan leleran tintanya tak menyatu dengan darah dalam tubuh, Pasti cupid tak mematahkan anak busurnya.

"Setiap kronologi kejadian pasti ada sebabnya. Dunia ini berputar. Maka itu perubahan menjadi abadi. Kecuali liur yang liar masih tersimpan rapi dalam benak. Dan kesempurnaan cuma ilusi. Hanya perasaan bersyukur yang menghancurkannya."


Sebelum lulabi mendekap gambar-gambar dalam ingatan. Sebagiannya telah terbakar. Di dalam sana. Warna langit biru terang. Matahari terlihat sebagian. Awan pelan beriringan. Selalu ada suara. Tentang terik yang membelah kepala. Merobek kulit. Dan seruan buru-buru berada dalam kamar tengah. Depan kipas angin. Yang angka satu dan duanya tak berfungsi lagi. Ada ribuan kunang-kunang yang menjadi kenangan. Sekalipun pelajaran tentang kejauhan mengikisnya. Layaknya tetesan sisa hujan kepada batu-batu kali.

Dan untuk Disleksia, percayalah, langit tak akan menelan kupu-kupu yang membuat kita tertawa. Kemarin. Sebab esok telah kau makamkan pada lubang kekeliruan. Di lain kesempatan akan kulukiskan dalam tulisan tentangmu yang mungkin telah merajut cerita taman dengan satu bunga kesukaanmu. Tentu saja melebihi "si bunga bangkai". Titip salam buat rambut panjang, jempol dan tangis yang ter-rindukan. -Goodbye Goodboy-.