Sabtu, 01 November 2014

November No Rain

"Dimana ada pertemuan, disitu ada perpisahan." Entah siapa yang membuat kalimat ini, Saya tidak begitu peduli. Tapi seperti itulah hidup. Dimana ada awal disitu ada akhir. Kata Green Day dalam lagu Jesus Of Suburbia-nya, nobody's perfect and I stand accused. Dalam hal ini, Saya tidak pernah menggunakan kacamata rasional maupun irasional untuk memilah sebuah hubungan yang layak. Dimana kedua belah pihak bisa saling mengerti, bukan hanya kebutuhan dalam hubungan itu saja. Tapi keduanya diharuskan saling menutupi kekurangan dan tidak melebih-lebihkan keunggulan satu sama lain. Melainkan bagaimana menjalaninya secara konsisten tanpa adanya perantara dari luar atau dominasi pihak ketiga. Jika sebuah hubungan telah terkontaminasi cara pandang orang lain, bisa jadi kondisi psikis cenderung berfungsi saat berhadapan dengan masa lalu atau masa depan. Bukannya kita ada dimasa sekarang? Masa lalu adalah tetek bengek mengapa kita berdiri saat ini dan masa depan itu tidak akan pernah ada jika masa sekarang dan sejarah masa lalu tak pernah ada. Semua rapalan akan masa depan adalah konsumsi manusia maju (Baca : Post-Modernitas) dimana tata letak kehidupan menjadi budaya tanding dalam ruang lingkup masyarakat modern. Interpretasi skeptis.

Kita dihadapkan oleh dunia yang condong pada sisi yang dianggap 'positif', 'baik-baik' dan menjadi re-generasi yang disuapi akan hidup itu sendiri. Kesempatan untuk menjadi diri sendiri dan berproses adalah minim. Dogma lingkungan yang menjadi dewa adalah pasti, bahwa yang layak adalah mereka dengan masa depan yang cerah. Dan ini akan menjadi budaya, dimana sebuah ketakutan akan masa depan yang buruk. Bukannya sebuah hubungan hanya membutuhkan : Atap untuk terhindar dari terik matahari dan dingin dimalam hari, terpenuhinya kebutuhan pangan, dan tentunya penuh cinta.

Strata sosial memang sudah lama menjadi tolak ukur dalam bermasyarakat. Bibit, bebet dan bobot diperhitungkan. Dari cara berpakaian hingga gaya bahasa yang digunakan. Dari makanan yang dikonsumsi hingga kendaraan yang dimiliki. Dari tempat tinggal hingga pendidikan yang digapai. Manusia akan kehilangan entitas-entitas ketika memasuki rana penyeragaman yang mutlak. Jika tidak, kau tidak akan pernah menggapai apa yang kau inginkan dalam hubungan antar manusia. Eksistensi tatanan hirarki tidak akan pernah menilai rasa yang lahir dari hati, ia serupa nuklir yang meluncur kearah isi kepalamu saat kau tak sanggup memenuhi kebutuhan peradaban. Dimana yang mengkilat, bersih dan indah adalah sesuatu yang cerah dikemudian hari.

Tunggu, tunggu... Sepertinya ada yang salah. Apa Saya terlihat mengeluh akan nasibku? Atau karena Saya yang tak sanggup untuk menjadi manusia yang sedikit terlihat 'terhormat'? Bukankah nasib manusia ada ditangannya masing-masing? Itu berarti saya telah memilih nasib, dan menjalaninya hingga saat ini. Dan, sebelum munulis tiga paragraf diatas yang saya sendiri tidak mengerti artinya apa dan seperti apa. Saya sudah berpikir, ini bukan untuk menyinggung siapapun yang ada disekitarku sedari dulu hingga saat ini. Saya hanya mencoba membangunkan diri sendiri dari representasi manusia lain yang beranggapan, bahwa hidup yang layak dijalani adalah hidup yang standarnisasinya dari generasi sebelumnya. Maka izinkanlah Saya menyanyikan lagu berikut ini yang mungkin tak pernah saya nyanyikan dipanggung.

You've changed a goddamn thing
Hold your head up high
When the hardest times come
We're heading straight to the fight
Believe in yourself
Let the hell out of the door
Honor is among us
Honor is all we know


Tidak ada komentar:

Posting Komentar