Rabu, 17 September 2014

Sisa Rumah Pohon Pisang


Pagi itu saat langit masih mentah. Akan kuingat sepanjang hidupku.

Mataku yang sembab tak sempat tersentuh air. Didalamnya, robot kuning berjalan menuju tempat kami, tempat bermain dengan peri okeanida. Tapi aku tidak khawatir sedikit pun, peri itu bisa terbang menembus awan. Ia juga bisa menghilang atau bersembunyi dalam batang pohon jambu. Bahkan jika Ia ingin, sekali kepakkan sayapnya robot itu akan hancur berkeping-keping. Aku berharap peri okeanida ada di sekitar sini. Hingga aku tak perlu bercerita panjang lebar saat bertemu dengannya. Semoga Ia tak di marahi Ibunya yang selalu ngomel karena berteman denganku. Ibu peri yang melarang anaknya bermain petak umpet dengan teman-temanku.

Lamunanku buyar tentang teman periku yang rumahnya berada di kompleks sebelah, saat robot besar berwarna kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya semakin mendekat. Perasaanku sedari tadi tak karuan. Sepasang kaki ini kaku. Begitu pun dengan wajahku. Senyumanku hilang saat orang lain-lain serentak berdatangan. Langkahnya bagai gemuruh dilangit kelam. Bahkan saat aku mulai mengerti mengapa sebagian orang di sekitarku mengeluarkan air mata bukan karena asap putih itu. Melainkan saat ayunan pertama dari moncong robot itu. Suara-suara berhamburan terasa sesak didalam dada. Aku bahkan tak mengerti, kenapa aku mendengar menggunakan hati bukan telinga.

Satu persatu tempat tinggal kami roboh oleh moncong itu. Aku heran, mengapa Ia tak memakannya saja atau menyedotnya hinggat habis. Mungkin Ia dan kawan-kawannya lupa, jika menyisahkan remah-remah, akan datang koloni semut merah yang lebih marah lagi. Seketika semuanya rata dengan tanah. Dari dinding hingga lantai dada ini semakin sesak. Bibirku bergetar. Perlahan-lahan air mataku membuat garis lurus di kedua pipi. Riuh teriakan dari segala arah. Aku pikir itu adalah permohonan dari sumur yang terkena runtuhan atau mungkin cacian sisa rumah pohon pisang kepada robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya. Tiba-tiba aku ingat huruf-huruf yang tertempel di dinding sekolahku. tepatnya, rumah yang di jadikan sekolah. Ternyata Ia juga bernasib sama dengan yang di sekelilingnya. Huruf-huruf yang mengenalkanku bahwa "Budi itu anaknya Bapak dan Ibu Budi. Bahwa "Kaki tidak digunakan untuk makan". Atau mungkin saja kelak, huruf-huruf itulah yang memberitahuku bahwa "Karena Penggusuran Ada Dimana-mana Maka Perlawanan Juga Harus Ada Dimana-mana", mungkin saja. Setelah huruf-huruf itu, aku mengingat buku yang ku tempati menggambar. Aku senang menggambar rumah. Akan aku penuhi warna. Tempat menyimpan semua kebahagiaan. Rumah yang aku bangun oleh telunjuk dan jempol. Anehnya, mengapa mereka menggunakan robot sebesar itu untuk menghancurkannya? Sepertinya mereka tidak senang dengan gambaranku. Jangankan itu, pakaianku pun mereka tidak mengizinkan untuk mengambilnya. Padahal mereka tidak mengambilnya, hanya membiarkannya terhimpit reruntuhan yang dibuatnya. Sepertinya mereka membenciku.


Aku mengenang langit pagi empat hari yang lalu. Saat dunia mengkhianati, saat itu pula aku bermain di atas tanah yang beberapa hari lalu berdiri sekalipun tak kokoh. Robot kuning dengan bercak-bercak hitam di tubuhnya itu dan kawan-kawannya sudah tak ada. Mereka membangun dinding yang menyilaukan mata saat matahari di atas ubun-ubun. Perkiraanku benar, mereka lupa mengambil senyumku dan senyum teman-temanku. Mereka juga lupa meruntuhkan semangat Ibu, Ayah dan kawan-kawannya. Sehingga kami masih tetap berada di sini. Bersama teman-temanku, kami bermain. Ia mengejarku, melempariku gas air mata, aku berlari sembari melemparinya batu. Mataku mulai kepedisan, tapi aku tidak bersembunyi dibalik kardus yang di jadikannya tameng. Bukankah itu tindakan pengecut? Melempariku gas air mata sebari sembunyi di belakang tameng.

Senja pun tiba. Warna langit merah saga. Kedua kaki-ku berdebu. Sisa rumah pohon pisang akan kedinginan. Tak ada lampu di reruntuhan. Ibu mandi di sumur yang selamat. Begitu pun dengan Ayah. Aku pun mandi disitu. Begitu pun teman-temanku. Dan semua yang pernah bermukim di atas tanah itu.

Cahaya bulan mulai nampak. Bias lampu dari rumah-rumah seberang membuatku terduduk di bawah tenda berwarna biru. Pikiranku menerawang kebelakang dinding baru itu. Perasaanku mengatakan, yang membuat dinding itu adalah mereka sekumpulan orang jahat. Memisahkan kami dari kehidupan yang layak. Dari kenangan-kengan yang membatu di dalam rumah. Apakah mereka iblis? Kemana pula peri okeanida, tak jua menampakkan dirinya lagi? Jika Tuhan mendengar doaku yang tak khusyuk ini, aku hanya berharap, tak akan ada lagi yang meninggalkan kami selain peri okeanida. Biarkanlah hujan saja yang reda.

Ada kelelahan bersemahyang dalam tubuhku. Ia butuh istirahat. Sama halnya dengan perutku jika keroncongan. Ia butuh makan. Maka terlelap dengan teka-teki kehidupan yang tak sanggup aku pikir saat ini adalah keharusan. Sebab esok, pagi akan menuntunku untuk melihat langit yang masih mentah. Disitu, akan kembali kuingat sepanjang hidupku. Sepanjang hidupku!





1 komentar: