Senin, 24 November 2014

Perempuan Pemintal Kenangan

Ia berfusi dengan bias sinar rembulan. Setiap malam memupuk rindu diseberang lamunan. Kakinya bergoyang berirama tanpa musik--tanpa menyentuh tanah saat duduk di ujung bale bambu--tanpa seorang pun yang menemani. Hanya bising nyamuk sesekali lewat di daun telinga dan cahaya temaram dari strongking membuat siluet di kejauhan.

Dalam duduknya yang tenang, Ia merangkai awan dari balik kelopak matanya yang bulat. Membentuk sebuah kapal, awan yang lain berupa ombak. Seolah berlayar mengarungi Samudera Selatan, awan yang lainnya lagi dijadikannya bongkahan es. Mencoba menghindari bongkahan demi bongkahan besar. Jauh didalam dunia imajinasinya, tak seorang pun yang pernah selamat melewati arus deras, angin kencang dan bongkahan es dimana-mana.

Sekalipun skenario awan putih yang menjadi petualangan dibalik bola matanya tak pernah ada yang selamat, Ia tidak ingin kalah oleh imajinasinya sendiri. Layaknya seorang Henry Morgan yang menaklukkan Selat Gibraltar, tak pernah pupus akan apa yang dihadapinya. Bergelut dengan guncangan dan badai, menghindar kekiri dan kekanan, bertahan pada kaki sendiri dari terpaan angin. Hingga akhirnya kandas pada bongkahan yang tak diperhitungkan. Bongkahan yang sebesar kubah masjid Nabawi itu tak terlihat, tertutupi ombak.

Kapal pun hancur, bongkahan es pun hancur, ombak pun hancur. Tapi satu yang membuatnya tersenyum, dalam benaknya ; Sekalipun karam , aku tidak mengalah. Sekalipun kalah, aku tidak berpura-pura.

Ia bergeser kekiri di atas bale bambu itu, bersandar pada tiang yang digantungi sebuah kentongan. Melirik ke belakangan. Kearah rumah, tempat Ia berteduh dari panas dan dingin. Disana masih terdengar seorang Ayah yang bergumul dengan mesih jahit. Pertanda jam tidur masih jauh.

Setelah kapal itu karam dalam Samudera Selatan imajinasi, Ia kembali belalakan kearah langit. Menunggu pecahan-pecahan awan menyatu, kemudian membuat Longleat Hedge Maze dari telunjuknya, sebuah labirin terumit yang pernah ada. Dan Ia sendiri yang menjalaninya. Sebelum memulai, Ia kembali tersenyum, lalu membentuk donat untuk disantapnya. Dan Ia pun tahu, bahwa donat itu tidak mengenyangkan. Hanya membuatnya tersenyum.

Jalur demi jalur dijalaninya secara perlahan, membuat penanda-penanda setiap tikungan. Tak jarang bertemu jalur yang buntu atau jalur yang putus. Membuatnya harus mengambil jalur yang lain. Sesekali Ia hanya berputar-putar di tempat yang sama, dan kembali mengambil jalur yang lain. Saat berada pada jalur simpang lima, ia bertemu dengan tiga sosok cahaya yang membuat langkahnya berhenti. Tiga sosok cahaya yang masing-masing berdiri pada tiga jalur yang berada pada simpang lima.

"Jalur ini bernama Intelektualitas," kata cahaya pertama. "Kau akan bertemu dengan pemahaman yang mengantarkanmu pada jalur Kecerdasaan dan mengeluarkanmu pada labirin ini dengan ide-ide brilian."

"Aku sangat ingin cerdas dan memiliki banyak pengetahuan." Sahut Ia.

"Ada bagusnya kau lewat jalur ini," cahaya kedua tak ingin kalah. "Jalur ini bernama Spritualitas, kau hanya berdoa dengan khusyuk dan akan mendapat tuntunan penglihatan dari sang Khalik untuk keluar dari labirin ini."

"Aku sangat ingin menjadi orang yang taat dan beriman hanya kepada-Nya." Ia kembali menjawab.

"Bagaimana jika kau lewat jalur Emosional saja?" Kata cahaya ketiga dengan tenang. "Kau tak perlu tergesa-gesa saat berada pada jalur ini, karena hanya ketenanganlah yang membuatmu bisa lepas dari labirin ini."

"Sepertinya aku tertarik dengan jalur itu, jalur kecil itu." Ia menunjuk jalur kelima.

"Tapi!" Ketiga cahaya serentak berkata.

Ia berjalan menuju jalur kelima. Sebuah jalur yang gelap. Pohon Yew yang menjadi dinding labirin itu meninggi, tapi hanya terjadi pada jalur kelima. Sisi satu dan sisi lainnya menyatu diatas, seolah membuat atap dengan sendirinya. Dan berduri. Tapi Ia telah mengambil keputusan, ini jalurnya, jalur yang dipilihnya sendiri.

Menyusuri jalur kelima bukan perkara mudah. Dalam sana bukan hanya gelap dan berduri, tapi tanahnya yang basah dan licin. Entah apa yang ada dalam kepala Ia, memilih jalur yang sunyi, sebuah jalur yang diasingkan dan mungkin kebanyakan orang tak akan menempuh jalur tersebut. Seolah-olah Ia berhenti berjalan, hanya duduk diam didalam sana dan tak melakukan apa-apa. Ternyata tidak. Ini bukan masalah kau diam atau bergerak. Bukan masalah melakukan sesuatu atau duduk diam. Tapi ini adalah tentang menjadi diri sendiri, bukan menjadi benalu parasit dalam setiap jalur. Ia menolak mentah-mentah menjadi sosok yang cerdas, berahlak dan tenang dengan seribu rupa topeng idealisme murahan untuk menipu diri sendiri.

Dan lelaki yang hidupnya tak kunjung berubah, terbaring telentang dalam kamar pengap. Lelaki yang mengkhayal tentang Ia yang bermain dengan awan-awan di langit malam. Ia yang pernah tidur telentang menghadap langit-langit kamar pengap. Ia yang menolak modernitas hiruk pikuk kota. Ia yang memilih terlihat bodoh ketimbang hidup dalam kepura-puraan. Ia adalah, perempuan pemintal kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar