Kamis, 20 September 2012

Stupid Song & Travis Idiot


Malam itu kita duduk bertiga, memecahkan tenggorokan dengan sebotol red wine, yang lain melaksanakan kewajiban sebagai Muslim. Menyuruhku menambah personil band yang hingga sekarang band itu seperti darah yang mengering sedikit demi sedikit. Aku tidak peduli lagi dengan band dan kau tidak tahu itu. Yang kau tahu hanya membuat kami senang, bahagia dan tertawa walau kau tersiksa, kau memang Stupid! Kita pernah mengantar mayat seorang kawan dengan hingga terjebak di antara rindangnya pohon bambu, di antara arak yang kau tuang dan potsi yang muncul dari sakumu. Aku tak melihat jalan. Tak mengenalmu. Tak memperdulikan tawa kalian. Aku di opname. Saat bertemu dengan mu lagi, tetap dengan senyummu yang tak berubah, dengan logatmu yang khas, kau mengajakku lagi bersenang-senang. come on Stupid!




Pagi itu tak ada jam yang berdentang untuk membangunkan, matahari pun tak sanggup. Entah mengapa benturan demi benturan botol jhon robin dalam tas si Travis begitu menggiurkan. Anjing!!! Helios pun tak mampu mabuk se-pagi ini! Tak ada isi perut. Tak ada air putih. Hanya itu yang kau tawarkan? Tak apalah, asal "bukan omong kosong yang engkau tawarkan, babi!".



Kemarin aku dan si kelabang menemui mu. Kau melihatnya. Kami tak melihatmu. Apa kamu se-egois itu sekarang? Sumpah, kamu tampak lebih tampan menggunakan sweeter "Krass Kepala" pemberian perempuan si penjahit dari tanah sunda itu. Kapan-kapan aku membawakanmu papan skate dan sebotol bir untuk menumpahkannya di makammu. Semoga kamu mabuk!



Ngeeng ngeeng ngeeengg... Ayolah Stupid, kamu ini bukan pembalap. Sekalipun yang kau tunggangi itu secepat kilat, kau tetap tak mampu juara. Kau tahu-kan alasannya? Kita cuma butuh beberapa kursi dan sebuah meja untuk melingkar. Atau paling tidak melantai. Melantungkan lagu-lagu yang di buat oleh Bronx. Hingga Bronx sendiri kadang sudah tak menghapalnya. Sudahlah, ini terakhir kali aku menulis tentang kalian, saya tidak ingin di anggap narsistik oleh malaikat utusan tuhan.

Rest In Paradise! We Love You Bastard!!!







Selasa, 18 September 2012

"Revolation"

Trotoar berpayung matahari...

Menanggalkan terik dari tubuh yang tertapis. Tepat di atas kepala. Debu menghampiri. Berpendar tanpa aturan. Tak terlihat. Betapa tebalnya mereka. Delapan kilometer setiap hari. Enam hari dalam seminggu. Aku juga perlu dua puluh empat jam untuk bercengkrama dengan kiara. Senyuman kecilku satu-satunya. Yang kini lebih sering bercumbu dengan mutia, perempuan yang mampu merajut mimpi buruk sang angin di pucuk senjakala. Hampir setiap malam. Sama seperti tetanggaku yang kontrakannya berhadapan dengan rumahku. Peninggalan suamiku. Ia seorang Agnostik. Tidak percaya pada kitab yang mengajarkan bahwa laki-laki lebih unggul, lebih kuat dan lebih cerdas. Membuktikannya tanpa satu sanak keluarga pun. Perantau. Mampu meretaskan warna diatas valet dan menghamburkannya di atas kanvas. Meretaskan kata di dalam pikirannya dan menghamburkannya di atas kertas.

Langkah demi langkah menjejak di tanah. Kadang kering kadang basah. Menjajakkan warna demi warna yang menyatu, membentuk sebuah cerita. Kebanyakan bertema kehidupan, kesetaraan dan bodohnya sistem di negaraku. Kadang juga ada yang pesan di buatkan sesuai kepercayaan mereka.

Hidup bukan untuk menunggu mujizat, makanya aku berjalan. Tentunya dengan caraku sendiri. Cara seorang perempuan menantang matahari dan menantang omongan kalian yang menganggap kami hanya sekedar lukisan yang di pajang tanpa mampu berbuat apa-apa.

Untuk lelah melewati hari demi hari di bawah budaya garis laki-laki, aku dan mutia hanya tersenyum, jika ada yang menilai kami lemah hanya karena kami memiliki vagina. Jika keyakinan dan kepercayaan tidak mengajarkanmu menghargai hak hidup mahluk lain di sekitarmu, itu makanya kami melawan atas dasar kebebasan dan cinta.

"revolation" adalah tentang tatanan dunia baru, tapi mungkin yang ada di Alkitab karena Tuhan ingin kita datang bersama-sama dan protes ke-tidakadilan dan membawa kembali kebebasan dan cinta.

Senin, 27 Agustus 2012

Renovasi 14 dan Berkaratnya Athena

Dan gelembung pun pecah berhamburan...

Membakar kesunyian dan kesepian jauh lebih baik daripada menghamburkan kenyataan.

Beberapa bulan lalu, Athena menyerah terhadap cerita yang belum sempat tertulis diantara rumput kering yang terlupakan. Di antara cacing tanah dan tikus tanah yang tak lagi mempermasalahkan mitos hujan dan matahari. Di antara kilometer empat yang menjadi tumpuan kaki-kaki menuju tempat pertemuan revolusi empat belas. Hingga berubah menjadi renovasi empat belas.

Tak ada angin. Apalagi ukuran badai. Lalu mengapa lidah-lidah langit mengeluarkan pecahan kaca yang tadinya berbentuk canda, tawa dan senang?.

Suara-suara itu pun bermunculan. Dari halaman novel. Riuhnya kekasih angin dipucuk kebingungan. Hingga kejarak sebelum 14.04 kilometer. Dimana Athena sekuat tenaga tak menganggap kekasih angin sebagai cerita yang pernah membuatnya tersenyum, tertawa dan meledakkan air mata.

Adakalanya logika harus dibakar. Cerita harus di semayamkan. Dan yang tersembunyi biarlah padam dengan sendirinya.

Untukmu yang "sok tahu", jangan pernah bercanda dengan tenggorokan bernanah.



Senin, 20 Agustus 2012

Itu Aku Dan Mainanku...

Pagi terjaga. Pukul delapan lima belas menit. Serviks mulai membuka dan mendatar. Harap cemas. Tangis pecah. Selamat datang malaikat kecilku.

Mata rembulan si kuning langsat. Menerawang dinding bersenandung malu-malu. Pemilik payudara baruku, Mulailah menghisapku. Hingga suatu saat botol berisi susu yang di beli ayahmu di ujung jalan kan bertukar. Ayah yang tak pandai merangkai kata untuk memanggilmu. Begitu pun aku, ibumu. Tak mungkin juga menunggumu dewasa dan membiarkanmu memilih nama sendiri, itu mengapa kami setuju pemberian nenekmu. Suciati. Hanya saja, ayahmu terbiasa memanggilmu "dede". Akupun terbiasa.

Senja padam menemui datarannya. Membiarkan rembulan melakukan tugasnya. Mantan kekasih tak menampakkan lelahnya. Kau tahu itu. Waktu semakin menua. Menuai retasan demi retasan kebahagiaan. Tak ada retakan. Semoga tak ada. Dalam Doaku. Hingga kau terlihat melangit. Menarik tangan kami. Mengajak melukis langit. Usiamu kini tiga tahun. Memilih menunggani ayahmu daripada menghancurkan mainan barumu.


Aku melihat Michaelangelo Buonarroti yang menumpahkan cat minyak di atas kain kanvas tanpa ragu hingga Fresko di langit-langit Sistine's Chapel tercipta. Seperti itulah kau membuat kami takjub akan kebahagiaan baru. Kebahagiaan yang tak ternilai dengan angka. Hingga benturan itu membuatmu terlelap dalam pangkuanku. Aku pun terlelap disamping ayahmu yang juga terlelap.

"yang sabar yah sayang, tuhan mungkin belum memberikan kita". sambil menggenggam kedua tanganku, mengecup keningku. Aku pun sebenarnya belum memikirkan hal itu. Biarlah waktu yang memberitahukan kami. "iya sayang". Sambil tersenyum, aku pun membalas kecupan di kening suamiku.

Di beranda, mataku melirik seseorang menempel seperti lintah di balik pagar. Sepertinya aku salah. Ia lebih dari seorang. Namun sekejap lenyap tertelan cahaya lampu taman. Sepertinya memang aku dan penglihatanku yang salah. Sudahlah. Sembilan tiga puluh menit. Suara pagar terbuka menandakan suamiku telah tiba. Menemuiku dengan wajah lumayan pucat. Ia juga bercerita tentang "lintah" yang menempel di pagar. lalu lenyap. "ah kamu terlalu lelah sayang, seharian bekerja. sana bersihkan badanmu. bau". "iya yah, ini karena pak rusdi yang pulang kampung. jadinya lembur untuk selesaikan data tender besok lusa". "yah sudah mandi sana, makan malam sudah menunggu dari tadi".

Pagi yang seperti biasa. Embun yang berpendar di lantai beranda. Berhamburan. Dan wajah itu ada setiap pagi. Menoleh begitu saja. Lalu pergi. Hampir setiap pagi. Begitu pun saat senja mulai redup. Seperti ada yang bermain. Di halaman rumah. Di beranda.

Sembari menunggu adikku yang ingin menemaniku malam ini karena suamiku lagi tugas di luar kota, aku membuatkan puding kesukaannya. Pukul dua satu lewat sekian suara pintu pagar terbuka. Ia telat. Puding pun telah siap di meja dari tadi.

"Motornya di parkir di garasi saja". Sahutku sembari tersenyum kepada adikku. Aku merasa lega karena sudah ada yang menemani. "ia kak...".

"Ini mainan siapa kak? Sudah hamil yah? Kok beli mainan dulu sih?"
"Kamu dapat dari mana?"
"Di garasi"

Aku kembali teringat sepasang suami istri yang mencari anaknya sambil mengintip dalam garasi mobilku. Suara yang datar. Pandangan yang nanar. Si kecil siang itu. Tersenyum memandangku. Seketika aku menemukan diriku bersimbah darah dalam mobil yang mereka tumpangi.

Sabtu, 04 Agustus 2012

sakura bertukar tempat dengan darah

Merinduimu, sama seperti menanti musibah...

Ada lagi yang pecah. Retakannya meninggalkan cemas. Merah merana. Tampak terkelupas. Marah merona.

Ia memintaku untuk menemaninya merangkai cerita, menantang derita, dan melawan kejamnya sisi gelap kota setelah menjalani enam bulan kisah jarak jauh. Tangan kiri dan kananku sempat ragu pada lidahnya yang di tumbuhi sakura dan seruni pada musim semi. Jantungku berdetak tak kala harus meninggalkan sepetak sawah dan beberapa ternak, meninggalkan ibu dan ayah serta adik yang terbiasa di kursi roda, sejak kecil ia mengalami Poliomielitis

Jangan tanyakan tentang kota, aku membencinya. Ia memintaku menemaninya, si lidah yang di tumbuhi sakura dan seruni, maka aku juga membencinya, tak kala sakura dan seruni itu tampak gelap dan berlendir beberapa bulan belakangan ini. Menjijikkan.

Mereka beranggapan bahwa kota adalah deturasi surga, tempat istimewah yang di impikan kebanyakan gadis kampung sepertiku. Menilai dari kacamata rasional atau kacamata ritual super idiot tentang sebuah kenyamanan dan ketentraman berada diantara gedung-gedung pencakar langit, di antara gudang-gudang yang melahirkan polusi pemusnah langit. Menganggapku telah menjadi sosok konsumtif berlebihan, menamaiku luka desa dan yang parahnya, mereka menyamakanku dengan perempuan yang menghias tubuhnya dengan cinta murahan. Mereka, tetangga di kampung lupa bahwa manusia sama seperti cuaca, tak bisa di prediksi apalagi di kontrol.

Hanya beberapa bulan aku menikmati pelangi yang kami buat. Berseluncur di atasnya, bermandikan warna, merekah pada poros yang sejajar tentang mimpi yang selama ini ku impikan.

Aku membenci hidupku, aku membenci muntah itu, membenci tangan kasar itu, tangan yang membiasakan diri meremas dada dan menempar pipiku. Bulir mengalir. Ada lagi yang pecah. Lalu berdarah.

Aku baru tersadar berdiri sejak lama di depan pintu pesakitan setelah tahu vacum cleaner yang karatan telah berfungsi setelah 3 bulan lamanya bersemayam di dalam gudang belakang. Vacum cleaner itu menghisap pelangiku dan menyimpannya bersama debu. Menggantikannya dengan api. Dengan tangis dan darah.

Hampir setiap malam tangan kasar itu memaksa menyusup di balik baju dan celanaku. Mencari gundukan kembar yang tak pernah lagi ia pedulikan dengan cinta, dengan lembut dan sayang. Menaruhnya begitu saja. Menjadikannya khiasan tanpa perasaan. Membuat tubuhku bergetar, menahan rasa, marah dan dendam. Jika cinta sudah tidak peduli, maka rasa sakit dan darahlah sebagai gantinya.

Aroma alkohol itu menggauliku. Setiap saat. Setiap harta dan benda bertukar dengan kesenangan. Secara paksa. menjadikannya arena pelampiasan dimana cincin dijariku bertukar dengan kartu tak lengkap atau meja dan kursinya yang sudah di muntahi puluhan preman atau keberuntungan memang sudah habis tertimpah tubuh perempuan bergincu tebal dengan aroma Linn Young Papillon.

Setelah tujuh hari tausiah dirumah ini, aku pun memilih untuk pulang ke kampung. Tanpa pelangi. Tanpa sakura dan seruni. Tanpa cinci di jari manis. Balok kayu itu terkubur bersama dengan cerita si lidah yang di tumbuhi sakura dan seruni. Lelaki itu. Lelaki yang tangannya membuat ku bergetar menahan marah, darah dan terbakar, saat meniduriku secara paksa. Marah saat menggeledaku bak pencuri. Berdarah saat menghujaniku pukulan. Terbakar saat meniduriku dengan bau alkohol yang memaksa. Lelaki yang kematiannya seolah-olah gantung diri. Lelaki yang menamaiku istri selama tiga bulan setelah pernikahanku yang berusia sepuluh bulan. Maaf sayang.

Kamis, 28 Juni 2012

Kita Di Tengah Malam



Langit gelap dan pekat. Hujan kerap. Sempurna…

Berhenti bersedih apalagi menangis. Tak ada untungnya. Jauh lebih baik jika kau teriak atau memaki aku yang tak ada. Aku mendengar itu dari mulutmu yang bau asap rokok. Beberapa senti dari telingaku. Dalam kamar kecil. Sempit. Tengah malam. Langit gelap dan pekat. Hujan kerap. Sempurna.

Pagi yang muram. Sinar matahari menerobos celah kayu. Semalam kau memelukku begitu hangat dengan tubuh yang pucat. Sama seperti saat kita selesai bertengkar. Meleleh bersama. Aku tidak peduli kata orang bahwa ini adalah kutukan, aku juga tidak peduli pada sisi lainku yang menganggap aku telah gila karena mu. Membingkaimu dalam kotak kaca. Merapatkan pelupuk. Demikian kuat. Sekarang, siang merayap tepat di puncak.
Dua belas lewat sekian. Pintu berdenyit. Lalu terbuka setengah. Waktunya makan siang. Perempuan itu teriak. Menyambar sapu yang tersandar di dinding lalu menghantamkan gagangnya di pintu besi yang telah berkarat dimakan tua. Matanya sinis. Aku membencinya. Bukankah kau juga membencinya?. Malam pun seperti itu. Tatapan garang. Hentakan sapu pada pintu besi.makan malam. lalu mencumbuimu seperti malam itu hingga lelap terbawa mimpi. Lima lampu menyala. Sebagian mati. Termasuk diatas kepala.

“siapa?”

“siapa itu?!”

“anjing!!!”

Kau selalu membuatku marah. Mengagetkan aku hingga terbangun. Aku tak bisa menjengukmu. Mencumbuimu. Malam hening pecah.

Wajahmu sangat kusut. Pucat. Dan hampir tak mengenalimu jika kau tak bersuara. Apa wajahmu dimakan tanah? seminggu yang lalu, saat aku mengungjungimu, dimana kita bercinta di bawah pohon ketapang yang umurnya ratusan tahun itu, wajahmu baik-baik saja. Dan malam itu kali ke tiganya aku membongkar makammu untuk bercerita, memelukmu dan mencumbuimu. Mengankatmu naik, lalu kita bermesraan bersandar di bawah pohon ketapang tepat didepan nisanmu. Langit gelap dan pekat. Hujan kerap. Sempurna. Hingga aku berada di kamar sempit yang lembab ini. Bersama orang gila lainnya. aku tidak gila. Aku sayang kamu. Tunggu aku di makammu. Mencumbuimu jauh lebih sadis saat kau masih hidup.




Jumat, 08 Juni 2012

Laras


Jam berdentang dua kali bersamaan keringat sebesar bulir mengalir di pelipis. seperti biasa, kereta itu melintas melewati alis sebelah kiri. Ia keluar dari dinding lembab kamar kecilku. Dan perempuan yang berdiri mematung di sampingku bernama Laras. Perempuan tak berwajah...

Dengan rambut melawati bahu terurai begitu saja. Kereta api melamban. Seperti saling memandang. Dan aku ikut terdiam sembari menundukkan kepala. Tak ada suara. Dingin. Laras menggenggam tanganku. Seperti mengajak menuju suatu tempat, tubuhku bergetar, makin terasa dingin. Kereta api berputar mengikuti arah jarum jam. Aku pun berdiri. Kereta api berhenti. Salah satu pintunya terbuka. Sekejap kami berada di deretan kursi gerbong. Aku dan laras. Kereta api kembali berjalan, berputar di kamar. Mengikuti arah jarum jam yang malas berdentang untuk ke tiga kalinya....
Laras masih menggenggam tanganku begitu lembut dan dingin. Melawati bingkai photo dan poster yang menempel di dinding. Berputar berkali lalu mendaki tumpukan pakaian. Aku senang namun belum tenang saat kereta berhenti. Pintu terbuka. Laras gelisah. Kereta api bau amis. Gerbong penuh darah.

Subuh itu pukul 3:45. Hanya ada suara kipas angin. Tubuhku begitu lelah. Skripsi yang belum selesai, membuatku selalu tidur tengah malam bersama seorang sahabat. Seperti biasa, dengkuran laras mengalahkan suara kipas angin. Laras begitu manis saat tertidur, seperti senyum yang entah kepada siapa. Ia sahabat yang baik, wajahnya ceria setiap saat, dengan gaya oon-nya yang minta ampun.

Subuh yang semakin terjaga. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Sebagian lampu telah padam. Hanya nyanyian jangkrik dan kecoa dari beranda menemani sang rembulan. Tak ada lagi bintang.

Rasa kantuk telah datang, begitu pula rasa lapar. Hampir setiap subuh seperti itu. Dalam seminggu. Bersamaan. Sialan!

Setelah berminggu-minggu tidur subuh, mengetik ini itu, dan menghindar dari ajakan dosen untuk kesini kesitu, akhirnya kelar juga. Skripsi setan yang sama sekali absurd untuk isi kepala ku. Melawan api dengan api akan menjadi lebih terbakar saja, aku dan laras memilih menjadi air yang menolak untuk keruh menyelesaikan tugas bodoh ini. Sehari kemudian, laras mengajak untuk liburan di “Mata air Urd”, tepatnya dibawah pohon Yggdrasil. Tempat yang sangat ingin di kunjungi laras, ia selalu bercerita tentang tempat itu, pohon raksasa yang sangat besar dan keramat menghubungkan sembilan dunia dalam kosmologi Nordik. Tentang dunia raksasa. Aku pun penasaran ingin melihatnya secara langsung, dan mengiyakan untuk berangkat pagi hari.

Malam itu kami berdua tidur jauh lebih awal di banding beberapa hari sebelumnya. Semua perlengkapan telah siap. Pagi itu laras bangun lebih awal dan mandi sangat lama. Lama sekali.

07:15 kami berangkat menggunakan kereta api. Dalam perjalan laras sangat ceria, tertawa dan bernyanyi. Ia bercerita tentang peri yang bercengkrama dibawah kabut, tentang tiga orang penyihir wanita yang berbagi satu mata, tentang sepasang kuda abadi milik Akhilles dan tentang Medusa, satu-satunya Gorgon yang tidak abadi.

Bayang-bayang itu masih sangat jelas, aku jadi takut untuk menutup mata. Terlihat begitu nyata. Guncangan itu membuat semuanya menjadi semu. Gelap. Genggaman tangan itu juga masih sangat jelas dan kuat. Seperti tak ingin melepasnya. Teriakan itu, tangisan itu, api itu, dan bau amis yang semakin menusuk penciuman serta gerbong yang berlumuran darah. Semuanya sangat jelas. Seakan-akan menarikku untuk tetap berada disana.

Tak terasa tahun berganti, sahabatku kini berganti photo di dinding. Ia masih membuatku senang. Tertawa. Berbagi cerita dan kadang makan bersama. Di depan photo dinding.

Seperti malam biasa, saat punya kesempatan, aku selalu memasakkan makanan favorit sahabatku. Terkadang orang rumah telah menganggapku aneh. Aku tak peduli. Ia menyebutnya “soto banjar tengah malam”, karena kami selalu membuatnya saat tengah malam waktu kuliah dulu.Tiba-tiba terdengar suara aneh dari dalam kamar. Suara yang tak asing tapi aneh. Merinding. Penasaran.

Seperti malam kemarin. 2 hari yang lalu. 5 hari kebelakang dan seminggu yang lalu. Setiap malam. Suara itu muncul. Pukul satu lima menit. Suara cerobong kereta api. Terdengar tiga kali. Bersamaan dengan selesainya makanan yang kubuat untuk photo dinding. seperti biasa, kereta itu kembali melintas melewati alis sebelah kiri. Ia keluar dari dinding lembab kamar kecilku. Dan perempuan yang berdiri mematung di sampingku bernama Laras. Perempuan tak berwajah.



Kamis, 17 Mei 2012

Monolog Si Pembual

Tak ada manusia yang ingin di maki tanpa sebab, dan jika pun ada, mendekatlah kemari, dengan senang hati saya memberikanmu sejuntai kebahagian penuh caci dan berlimpah makian...

Tergeletak bukan berarti tak berdaya, lelaki kecil kusam itu berjalan di antara kartu-kartu yang menjengkelkan, berlari diantara hujan benda runcing, hingga terlelap dalam pelukan si peramah sekaligus pemarah. Berulang kali. Beberapa minggu ini.

Pagi pun tak seramah yang mereka bicarakan dan malam terlalu marah untuk di taklukkan. Lelaki kecil itu hanya ingin memaki, pada siapapun yang bersedia, sekalipun pada benda mati. Kebanyakan orang berbicara tentang hidup yang santai, namun lelaki kecil kusam itu berfikir bahwa hidup yang santai itu hanya untuk Si Pembual. Sampah!

Ia terus melanjutkan perjalanannya, mencari sesuatu yang bisa membuat dirinya melampiaskan nafsunya kepada siapapun yang bersedia, sekalipun kepada bintang yang jatuh. Hingga suatu senja yang berlebihan, ia bertemu dengan seseorang yang memiliki paruh dan sayap kecil berwarna keemasan. Ia mengaku sebagai utusan dari kerajaan asgard, di perintahkan oleh tuannya untuk melampiaskan nafsu si lelaki kecil yang semakin kusam di landa amarah tak tercapai.

"Berhentilah berjalan, saya di utus untuk kau maki hingga usia mu habis"

Lelaki kecil itu malah kembali melangkah kedepan, dan tak memperdulikan apa yang si pemilik sayap keemasan katakan. Lelaki berparuh itu kembali berdiri tepat didepan si lelaki kusam. Saling melempar senyum. Yang terhadang kembali berjalan. Berulang kali. Berkali. Hingga ratusan, lalu ribuan lelaki yang sama menghadangnya. Memohon untuk di maki.

"Apa untungnya bagimu?"

"Hanya menjalankan perintah"

"Kalau begitu aku ingin memaki tuan mu saja"

"Apa kau memiliki kriteria terhadap apa dan siapa kau memaki!"

"Untuk melampiaskan nafsu, maka saya tidak memilihmu"

"Dan pembual yang kau maksud adalah dirimu sendiri?"

":)"



Rabu, 21 Maret 2012

Pair Is Lost

Ternyata benar, apa yang dikatakan Am, bahwa hidup itu seperti di perkosa, jika tidak bisa melawan, nikmati saja. Beberapa hari terakhir ini, kedua tangan, kedua bola mata, ke dua sisi isi kepala, baik dan buruk, hitam dan putih serta cinta dan dendam terlupakan begitu saja hanya karena berhadapan dengan orang yang belum saya kenal sedikit pun dalam pertarungan yang sama sekali absurd. Ini bukan tentang cinta, fundies atau merobohkan menara tuhan serta menenggelamkan ras terakhir kerajaan iblis. Ini hanya tentang keberuntungan yang datang dan pergi sesuka hatinya. Dan semua yang ada di sekitar menjadi korban ketidak-pedulian.

Seperti angin yang kehilangan arah, tak terkendali menahan marah, menanti keberuntungan yang tertelan oleh keserakahan, dan aku sendiri tak tahu berada dimana.

Jumat, 20 Januari 2012

"Tuhan Telah Mati"

Dan seperti keheningan bernyawa malam kemarin, dimana petak-petak tanah yang bernanah mengukir nama-nama pesakitan atas hidupnya korporasi di atas undang-undang anti revolusi yang terbakar dendam kesumat kematian anak negeri yang hak asasinya diperkosa hingga dajjal berdosa terlalu dini. Maka kami bersumpah menghembuskan nafas hanya untuk merusak dan memaki hingga langit jelaga runtuh. Bersumpah memusuhi aparat, pemilik saham dan pemodal yang sebagian dari tai-tai kalian telah menjadikan budaya pop sebagai berhala dan tuhan-tuhan baru. Dan seperti keheningan bernyawa malam ini, raja dan ratu kekuasaan beserta para fundies telah mencatat hari kematianku di antara lembaran kitab suci buatan manusia, sama seperti kalian dimana tuhan telah mati.



Np : Forgotten - Tuhan Telah Mati.

Minggu, 15 Januari 2012

GelembungAsmara...


Lelaki tengah malam itu mendayung perahu di tengah laut melawan ombak namun takut tenggelam. Perempuan karang yang santai dihajar ombak tak bergeming walau terkikis sedikit demi sedikit. Apa kau tahu cerita rumput liar yang mati tercabut sebagai bentuk pertemuan? tentang Lelaki hypertensi dan perempuan disleksia? Mereka merajut benang putih abu-abu yang keluar dari kedua perut mereka. Selalu diam. Selalu bertengkar. Penuh warna dan memiliki beberapa gelembung sabun yang keluar dari kepalanya masing-masing. Gelembung asmara. Bermain. Taman kecil. Tanah kering.

Keduanya lahir dengan tanggal dan tahun yang sama. Dipertemukan oleh sisi gelap kota, hingga malaikat dan setan selalu menyertainya. Malaikat diam. Setan kesetanan. Tak ada dendam.

Rumput liar itu terselip diantara halaman buku yang mereka beli saat fenomena matahari dan hujan diperdebatkan. Tak ada yang ingin mengalah. Tak ada yang menang. Di ujung jalan mereka bergandeng tangan. Pergelangan tangan penuh gelang. Keduanya. Memakai gelang.

Serupa tapi tak sama. Setanah tapi tak searah. Selangit tapi tak serasi. Beda bukan berarti tak sejalan. Mereka punya cara untuk melukis mimpi, meretaskan gelembung, hingga membakar pelangi seusai hujan menghapus jejak kemarin. Kemarau datang. Hypertensi mengamuk. Disleksia terdiam.

Jumat, 13 Januari 2012

Panjang Umur Cacing Tanah

Cacing tanah yang genap berusia 9 bulan kini warnanya telah pudar, berbeda dengan warna tawa dan canda saat ia belum dan baru lahir. Entah karena apa. Alam? Tanah? Lingkungan? Atau karena lupa cara menjadi awal dan terlalu banyak berpikir akhir? Entahlah...

Apapun itu, saya dan pelupaku ingin mengucapkan "selamat panjang umur, semoga tidak pudar oleh tawa dan canda yang berlebihan :)"


Ini hadiah untuk mu, pilihlah warnamu. Pudar itu tidak ada! :)


by.Tikus Tanah

Rabu, 04 Januari 2012

Last Broken Nine



Dewi Athena pun telah ingkar janji untuk pergi terlalu dini, dan Putra Angin tak mampu lagi menghembuskan sejuk sepoi di tiap pucuk pepohonan yang mengering meninggalkan kehijauan.

Tak akan ada perjalanan di kilometer empat yang merangkul nada canda dari hentakan sang pemilik kerinduan bila rhitme kesenangan telah berpendar pada tiap beton pembatas berwarna kuning dan hitam yang berubah menjadi kejauhan.

Terlalu pagi untuk menari bersama para pesakitan di beranda rumah, Putra Angin sadar ia bukan sosok melankolik yang duduk diantara rasi bintang sambil memainkan biola yang terbuat dari potongan kayu dan usus kambing lalu kemudian menyanyikan sebuah lagu tentang fakta dan citra yang membuat telinga Dewi Athena bagai menderita diabetes akut tanpa tanding. Tapi Dewi Athena tahu, jika tangan kanan Putra Angin bisa terlepas dari tubuhnya untuk bercengkrama dengan tangan kiri Dewi Athena yang terlepas pula dari tubuhnya. Entah di mana. Mungkin diantara bulir hujan yang hanya berjumlah empat belas menempel di jendela rumah, atau diantara tikus tanah yang hanya berjumlah empat pasang keluar dari sarangnya dan hanya kepala yang terlihat dari sembilan lobang kosong, satunya kosong. Tahun kemarin. Hujan.

Satu, dua, tiga hingga tak terhitung pecahan kaca yang berjatuhan tepat diatas kepala dan dada. Lalu sepasang mata asal tanah yang jaraknya 300 kilometer lebih dari tempat asal Putra Angin tumpah membasahi bumi dan ranjang empuk dalam kamar gelap.

Merah, hijau dan hijau adalah warna yang menjadikan kulit luarnya menjadi dekat. Sangat dekat. Bercerita. Menjadi cerita. Tertawa. Lalu tertawa. Hingga semuanya berhenti tiba-tiba. Namun tidak sia-sia. Ada keindahan disana, sejuta warna sedang bermain, dan beberapa taman di penuhi bunga, ada kursi panjang dan ayunan berwarna hitam. Putra Angin suka dengan warna hitam. Dewi Athena pun selalu menggunakannya. Hingga senja berganti malam.

Pesta kembang api anak manusia mewarnai langit gulita sebagai simbol bertambahnya usia bumi dan isinya. Dewi Athena tidak menyukainya, namun itu adalah perjalanan terakhir menuju bibir aspal yang cemberut. Patahan awan itu yang salah. Bukan, pinggiran gelas kaca itu yang salah. Bukan, pertanyaan lama itu yang salah. Sudahlah. Pembenaran hujan dan terik matahari. Jadi? Saya kebarat, kamu ketimur saja. Ketemu dimana nantinya? Di Surga. Aku tidak bisa kesana, aku akan di Neraka. Karena aku tidak percaya kamu.