Rabu, 19 November 2014

Setiap kali mati, saya hidup lagi.

Dibawah terik matahari yang mungkin saja mampu membakar kulit beberapa bulan terakhir ini, begitu terasa hingga kedalam mata paling sipit sekalipun melihat fatamorgana di kejauhan. Entah Dewa Ra yang kerajaannya semakin mendekat atau lapisan ozon yang semakin menipis atau temperatur global meningkat seiring bertambahnya tingkat gas Greenhouse (rumah kaca) di atmosfer. Emisi ini disebabkan aktivitas manusia. Tingkat karbondioksida di atmosfer bumi mencapai lebih dari 400 part per million. Membuat langkah kaki semakin cepat saat berjalan di kilometer empat pada siang hari. Tujuan pulang-pergi. Pulang kerumah entah pergi kemana.

Saat berjalan kaki dari Flyover menuju rumah. Selalu ada ide yang entah itu cemerlang atau tidak. Seperti baru-baru ini ; Ketika lingkungan sekitarku telah memupuk dendam menjadi daging pada kompleks sebelah, hingga hampir setiap minggu terjadi bentrokan--yang jika di tarik garis lurus--entah apa penyebabnya. Ada yang bilang otoritas, image hingga harga diri yang mudah terbakar oleh isu propaganda dari mulut kemulut. Saya malah menyibukkan diri untuk mengkonsumsi buku dan zine. Tapi saya kembali bertanya pada diriku sendiri : Apakah ini adalah hal yang benar? Dimana teman-temanku saling serang untuk sebuah harga diri dan saya asik membaca didalam kamar? Jawabannya : Iya!

Kembali lagi pada Kilometer Empat. Saat melintasi jalur untuk kendaraan bermotor itu, setelah pulang dari rumah seorang kawan. Datang lagi sebuah ide yang entah itu cemerlang atau memang iya cemerlang. Dalam keadaan jalan zig-zag sekitar dua tahun lalu, dan saya sendiri bisa merasakan aroma Tope Reoja yang bercampur dengan Kuku Bima berwarna biru dari mulut. Hampir setiap hari seperti itu. Tiba-tiba ide itu datang ketika puntung rokok yang terpental dari jari-jemariku menghantam tanah ; Tinggalkan teman-temanmu, hanya itu caranya hingga kau bisa melawan--paling tidak menjaga tubuhmu dari--serangan liver yang kali ketiganya. Dan lagi, saya bertanya pada diri sendiri : Apakah ini adalah hal yang benar untukku? Dimana teman-temanku saling tertawa bergembira dan bahagia setiap malam hari dan saya malah asik membuat zine dan membaca buku didalam kamar? Jawabannya tetap sama : Iya!

Dan ketika Kilometer Empat telah berwajah baru, ruas jalannya semakin luas dan tetap sempit ketiga ada roda empat melewatinya. Saya kembali berjalan menunduk menuju rumah (Kata pepatah, orang yang jalan menunduk tidak punya pendirian. Kata saya, tidak percaya dengan pepatah.) sedari membawakan buku pada seorang kolega. Ide itu datang lagi, lagi dan lagi. Kali ini opsinya adalah hubungan antar manusia. Mulai dari pertemanan, sahabat hingga ke yang paling intim, kekasih. Sewaktu berhenti untuk membakar rokok, ide itu seperti kanakar di dalam kepala (Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar -Ucu Agustin-) ; Dimana ada pertemuan, disana ada perpisahan. Kau akan dibuat kecewa jika terlalu mempercayai sesuatu dengan gamblang sedari awal. Atau seseorang yang menginginkan dirimu menjadi dirinya. Dan janganlah sekali-kali menilai seseorang dari penampilan. Apa lagi mengurangi kemanusiaan seseorang hanya karena ada organ yang tidak berfungsi. Seperti biasa, semuanya jadi pertanyaan pada diriku sendiri : Bukankah setiap manusia berbeda-beda? Jika kau bertemu dengan tipe manusia selektif atau tipe manusia menyedihkan, seperti benalu parasit, bukankah ia masih manusia yang tak boleh disakiti, tapi bisa dihindari. Jika kau dibenci karena nasibmu, mungkin mereka butuh kau sebagai orang lain yang sama. Dan jawabannya : This is my life, you cannot change it!

Maka setiap hal yang saya rasa adalah sebuah mortalitas, akan selalu datang sebuah ide serupa kanakar didalam kepala. Dan jika ini adalah sebuah pretensi bagi duniaku, maka saya akan lahir kembali dari tidur pulas sekuadron mutan yang bermimpi tentang kesempurnaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar