Jumat, 20 Januari 2012

"Tuhan Telah Mati"

Dan seperti keheningan bernyawa malam kemarin, dimana petak-petak tanah yang bernanah mengukir nama-nama pesakitan atas hidupnya korporasi di atas undang-undang anti revolusi yang terbakar dendam kesumat kematian anak negeri yang hak asasinya diperkosa hingga dajjal berdosa terlalu dini. Maka kami bersumpah menghembuskan nafas hanya untuk merusak dan memaki hingga langit jelaga runtuh. Bersumpah memusuhi aparat, pemilik saham dan pemodal yang sebagian dari tai-tai kalian telah menjadikan budaya pop sebagai berhala dan tuhan-tuhan baru. Dan seperti keheningan bernyawa malam ini, raja dan ratu kekuasaan beserta para fundies telah mencatat hari kematianku di antara lembaran kitab suci buatan manusia, sama seperti kalian dimana tuhan telah mati.



Np : Forgotten - Tuhan Telah Mati.

Minggu, 15 Januari 2012

GelembungAsmara...


Lelaki tengah malam itu mendayung perahu di tengah laut melawan ombak namun takut tenggelam. Perempuan karang yang santai dihajar ombak tak bergeming walau terkikis sedikit demi sedikit. Apa kau tahu cerita rumput liar yang mati tercabut sebagai bentuk pertemuan? tentang Lelaki hypertensi dan perempuan disleksia? Mereka merajut benang putih abu-abu yang keluar dari kedua perut mereka. Selalu diam. Selalu bertengkar. Penuh warna dan memiliki beberapa gelembung sabun yang keluar dari kepalanya masing-masing. Gelembung asmara. Bermain. Taman kecil. Tanah kering.

Keduanya lahir dengan tanggal dan tahun yang sama. Dipertemukan oleh sisi gelap kota, hingga malaikat dan setan selalu menyertainya. Malaikat diam. Setan kesetanan. Tak ada dendam.

Rumput liar itu terselip diantara halaman buku yang mereka beli saat fenomena matahari dan hujan diperdebatkan. Tak ada yang ingin mengalah. Tak ada yang menang. Di ujung jalan mereka bergandeng tangan. Pergelangan tangan penuh gelang. Keduanya. Memakai gelang.

Serupa tapi tak sama. Setanah tapi tak searah. Selangit tapi tak serasi. Beda bukan berarti tak sejalan. Mereka punya cara untuk melukis mimpi, meretaskan gelembung, hingga membakar pelangi seusai hujan menghapus jejak kemarin. Kemarau datang. Hypertensi mengamuk. Disleksia terdiam.

Jumat, 13 Januari 2012

Panjang Umur Cacing Tanah

Cacing tanah yang genap berusia 9 bulan kini warnanya telah pudar, berbeda dengan warna tawa dan canda saat ia belum dan baru lahir. Entah karena apa. Alam? Tanah? Lingkungan? Atau karena lupa cara menjadi awal dan terlalu banyak berpikir akhir? Entahlah...

Apapun itu, saya dan pelupaku ingin mengucapkan "selamat panjang umur, semoga tidak pudar oleh tawa dan canda yang berlebihan :)"


Ini hadiah untuk mu, pilihlah warnamu. Pudar itu tidak ada! :)


by.Tikus Tanah

Rabu, 04 Januari 2012

Last Broken Nine



Dewi Athena pun telah ingkar janji untuk pergi terlalu dini, dan Putra Angin tak mampu lagi menghembuskan sejuk sepoi di tiap pucuk pepohonan yang mengering meninggalkan kehijauan.

Tak akan ada perjalanan di kilometer empat yang merangkul nada canda dari hentakan sang pemilik kerinduan bila rhitme kesenangan telah berpendar pada tiap beton pembatas berwarna kuning dan hitam yang berubah menjadi kejauhan.

Terlalu pagi untuk menari bersama para pesakitan di beranda rumah, Putra Angin sadar ia bukan sosok melankolik yang duduk diantara rasi bintang sambil memainkan biola yang terbuat dari potongan kayu dan usus kambing lalu kemudian menyanyikan sebuah lagu tentang fakta dan citra yang membuat telinga Dewi Athena bagai menderita diabetes akut tanpa tanding. Tapi Dewi Athena tahu, jika tangan kanan Putra Angin bisa terlepas dari tubuhnya untuk bercengkrama dengan tangan kiri Dewi Athena yang terlepas pula dari tubuhnya. Entah di mana. Mungkin diantara bulir hujan yang hanya berjumlah empat belas menempel di jendela rumah, atau diantara tikus tanah yang hanya berjumlah empat pasang keluar dari sarangnya dan hanya kepala yang terlihat dari sembilan lobang kosong, satunya kosong. Tahun kemarin. Hujan.

Satu, dua, tiga hingga tak terhitung pecahan kaca yang berjatuhan tepat diatas kepala dan dada. Lalu sepasang mata asal tanah yang jaraknya 300 kilometer lebih dari tempat asal Putra Angin tumpah membasahi bumi dan ranjang empuk dalam kamar gelap.

Merah, hijau dan hijau adalah warna yang menjadikan kulit luarnya menjadi dekat. Sangat dekat. Bercerita. Menjadi cerita. Tertawa. Lalu tertawa. Hingga semuanya berhenti tiba-tiba. Namun tidak sia-sia. Ada keindahan disana, sejuta warna sedang bermain, dan beberapa taman di penuhi bunga, ada kursi panjang dan ayunan berwarna hitam. Putra Angin suka dengan warna hitam. Dewi Athena pun selalu menggunakannya. Hingga senja berganti malam.

Pesta kembang api anak manusia mewarnai langit gulita sebagai simbol bertambahnya usia bumi dan isinya. Dewi Athena tidak menyukainya, namun itu adalah perjalanan terakhir menuju bibir aspal yang cemberut. Patahan awan itu yang salah. Bukan, pinggiran gelas kaca itu yang salah. Bukan, pertanyaan lama itu yang salah. Sudahlah. Pembenaran hujan dan terik matahari. Jadi? Saya kebarat, kamu ketimur saja. Ketemu dimana nantinya? Di Surga. Aku tidak bisa kesana, aku akan di Neraka. Karena aku tidak percaya kamu.