Senin, 20 Agustus 2012

Itu Aku Dan Mainanku...

Pagi terjaga. Pukul delapan lima belas menit. Serviks mulai membuka dan mendatar. Harap cemas. Tangis pecah. Selamat datang malaikat kecilku.

Mata rembulan si kuning langsat. Menerawang dinding bersenandung malu-malu. Pemilik payudara baruku, Mulailah menghisapku. Hingga suatu saat botol berisi susu yang di beli ayahmu di ujung jalan kan bertukar. Ayah yang tak pandai merangkai kata untuk memanggilmu. Begitu pun aku, ibumu. Tak mungkin juga menunggumu dewasa dan membiarkanmu memilih nama sendiri, itu mengapa kami setuju pemberian nenekmu. Suciati. Hanya saja, ayahmu terbiasa memanggilmu "dede". Akupun terbiasa.

Senja padam menemui datarannya. Membiarkan rembulan melakukan tugasnya. Mantan kekasih tak menampakkan lelahnya. Kau tahu itu. Waktu semakin menua. Menuai retasan demi retasan kebahagiaan. Tak ada retakan. Semoga tak ada. Dalam Doaku. Hingga kau terlihat melangit. Menarik tangan kami. Mengajak melukis langit. Usiamu kini tiga tahun. Memilih menunggani ayahmu daripada menghancurkan mainan barumu.


Aku melihat Michaelangelo Buonarroti yang menumpahkan cat minyak di atas kain kanvas tanpa ragu hingga Fresko di langit-langit Sistine's Chapel tercipta. Seperti itulah kau membuat kami takjub akan kebahagiaan baru. Kebahagiaan yang tak ternilai dengan angka. Hingga benturan itu membuatmu terlelap dalam pangkuanku. Aku pun terlelap disamping ayahmu yang juga terlelap.

"yang sabar yah sayang, tuhan mungkin belum memberikan kita". sambil menggenggam kedua tanganku, mengecup keningku. Aku pun sebenarnya belum memikirkan hal itu. Biarlah waktu yang memberitahukan kami. "iya sayang". Sambil tersenyum, aku pun membalas kecupan di kening suamiku.

Di beranda, mataku melirik seseorang menempel seperti lintah di balik pagar. Sepertinya aku salah. Ia lebih dari seorang. Namun sekejap lenyap tertelan cahaya lampu taman. Sepertinya memang aku dan penglihatanku yang salah. Sudahlah. Sembilan tiga puluh menit. Suara pagar terbuka menandakan suamiku telah tiba. Menemuiku dengan wajah lumayan pucat. Ia juga bercerita tentang "lintah" yang menempel di pagar. lalu lenyap. "ah kamu terlalu lelah sayang, seharian bekerja. sana bersihkan badanmu. bau". "iya yah, ini karena pak rusdi yang pulang kampung. jadinya lembur untuk selesaikan data tender besok lusa". "yah sudah mandi sana, makan malam sudah menunggu dari tadi".

Pagi yang seperti biasa. Embun yang berpendar di lantai beranda. Berhamburan. Dan wajah itu ada setiap pagi. Menoleh begitu saja. Lalu pergi. Hampir setiap pagi. Begitu pun saat senja mulai redup. Seperti ada yang bermain. Di halaman rumah. Di beranda.

Sembari menunggu adikku yang ingin menemaniku malam ini karena suamiku lagi tugas di luar kota, aku membuatkan puding kesukaannya. Pukul dua satu lewat sekian suara pintu pagar terbuka. Ia telat. Puding pun telah siap di meja dari tadi.

"Motornya di parkir di garasi saja". Sahutku sembari tersenyum kepada adikku. Aku merasa lega karena sudah ada yang menemani. "ia kak...".

"Ini mainan siapa kak? Sudah hamil yah? Kok beli mainan dulu sih?"
"Kamu dapat dari mana?"
"Di garasi"

Aku kembali teringat sepasang suami istri yang mencari anaknya sambil mengintip dalam garasi mobilku. Suara yang datar. Pandangan yang nanar. Si kecil siang itu. Tersenyum memandangku. Seketika aku menemukan diriku bersimbah darah dalam mobil yang mereka tumpangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar