Rabu, 04 Januari 2012

Last Broken Nine



Dewi Athena pun telah ingkar janji untuk pergi terlalu dini, dan Putra Angin tak mampu lagi menghembuskan sejuk sepoi di tiap pucuk pepohonan yang mengering meninggalkan kehijauan.

Tak akan ada perjalanan di kilometer empat yang merangkul nada canda dari hentakan sang pemilik kerinduan bila rhitme kesenangan telah berpendar pada tiap beton pembatas berwarna kuning dan hitam yang berubah menjadi kejauhan.

Terlalu pagi untuk menari bersama para pesakitan di beranda rumah, Putra Angin sadar ia bukan sosok melankolik yang duduk diantara rasi bintang sambil memainkan biola yang terbuat dari potongan kayu dan usus kambing lalu kemudian menyanyikan sebuah lagu tentang fakta dan citra yang membuat telinga Dewi Athena bagai menderita diabetes akut tanpa tanding. Tapi Dewi Athena tahu, jika tangan kanan Putra Angin bisa terlepas dari tubuhnya untuk bercengkrama dengan tangan kiri Dewi Athena yang terlepas pula dari tubuhnya. Entah di mana. Mungkin diantara bulir hujan yang hanya berjumlah empat belas menempel di jendela rumah, atau diantara tikus tanah yang hanya berjumlah empat pasang keluar dari sarangnya dan hanya kepala yang terlihat dari sembilan lobang kosong, satunya kosong. Tahun kemarin. Hujan.

Satu, dua, tiga hingga tak terhitung pecahan kaca yang berjatuhan tepat diatas kepala dan dada. Lalu sepasang mata asal tanah yang jaraknya 300 kilometer lebih dari tempat asal Putra Angin tumpah membasahi bumi dan ranjang empuk dalam kamar gelap.

Merah, hijau dan hijau adalah warna yang menjadikan kulit luarnya menjadi dekat. Sangat dekat. Bercerita. Menjadi cerita. Tertawa. Lalu tertawa. Hingga semuanya berhenti tiba-tiba. Namun tidak sia-sia. Ada keindahan disana, sejuta warna sedang bermain, dan beberapa taman di penuhi bunga, ada kursi panjang dan ayunan berwarna hitam. Putra Angin suka dengan warna hitam. Dewi Athena pun selalu menggunakannya. Hingga senja berganti malam.

Pesta kembang api anak manusia mewarnai langit gulita sebagai simbol bertambahnya usia bumi dan isinya. Dewi Athena tidak menyukainya, namun itu adalah perjalanan terakhir menuju bibir aspal yang cemberut. Patahan awan itu yang salah. Bukan, pinggiran gelas kaca itu yang salah. Bukan, pertanyaan lama itu yang salah. Sudahlah. Pembenaran hujan dan terik matahari. Jadi? Saya kebarat, kamu ketimur saja. Ketemu dimana nantinya? Di Surga. Aku tidak bisa kesana, aku akan di Neraka. Karena aku tidak percaya kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar