Kamis, 19 Mei 2011

dilema gelas kaca

Bulir-demi bulir air yang jatuh dari langit membasahi lari kecilku , nafasku mengikuti irama detak jantungku, seakan-akan tidak ingin kalah pleh bulir air yang jatuh dari langit. Dengan cepat semuanya menjadi basah. Aku tidak ingin berteduh, aku bersyukur masih bisa menikmati bulir hujan ini, aku takut jika beberapa menit lagi aku tidak bisa merasakanya lagi. Maka kupuaskan diriku untuk bersenang-senang dengannya.
Lorong kecil menuju rumahku sudah tergenang air berwarna coklat sebatas mata kaki orang dewasa, ini sudah seperti kekasih hati yang dating berkunjung setelah musim kemarau.
Sudah tergambar jelas di khayalanku tentang isi rumahku, tentang air yang bertamu tanpa diundang kerumahku, tentang isi rumahku dan air yang merusak lemari bajuku yang terbuat dari sisa-sisa kardus, tentang keringat ibu yang jatuh bercampur air, tentang kedinginan yang menusuk tulang ibu, tentang kekuatan dan kesabaran ibu melawan itu semua.
Lariku semakin kenang, detak jantungku semakin cepat dan tak kuhiraukan lagi nafasku seperti apa.
Bulir hujan tak ingin kalah seperti mengikuti lariku. Cepat, semakin cepat dan makin deras.yang terlintas dibalik deras bulir hujan itu hanya baying dan wajah ibu. ibu yang tengah melawan cobaan alam dengan sendirinya setelah ditinggal pergi ayah tujuh tahun yang lalu saat saat usiaku menginjak sepuluh bulan, itu kata ibu jika sedang melihat pajangan photo ayah di potongan cermin yang sudah retak.
Aku hanya tinggal berdua dengan ibu dirumah kontrakan yang kecil dan termasuk pemukiman kumuh disudut kota. Perbualan ibu harus membayar tiga ratus ribu rupiah kepada sang pemilik rumah. Mencuci dan menyetrika pakaian dari rumah kerumah adalah cara ibu melawan hidup yang mengcekik dan ingin membunuh secara perlahan.

Sampailah aku didepan rumah yang tak berpagar, dinding dari kayu yang sudah termakan usia dan hampir mengalah melawan lumut yang dibuat air melunturkan warna aslinya.
“Kenapa pulang lebih awal, nak?”
“Dipasar lagi sunyi ibu, tapi lumayan ada dua puluh ribuan yang aku dapat ibu.”
“Bersyukurlah nak, tuhan masih saying pada kita!”
Aku hanya melempar senyum pada ibu dan segera membantu membersihkan istanaku ini.
Sesaat setelah hujan,aku menatap larik langit ada snj menjelang petang. Tidak ada pelangi, tak ada warn warni di langit lalu malam pun tiba.
Ibu tertidur sekarang, lelap tapi tak lembut, dan tak serupa rumput jepang yang di selimuti angin di antara hangat malam pekarangan depan rumah mewah yang di penuhi lampu taman.
“jangan menatapku seperti itu, nak”
“adadakah itu yang melintas di kepala ibu saat ini?”
“ibu tidak memilik kecanggihan telepati seperti itu, nak”
“mungkinkah itu yang akan ibu katakan andai iya tahu apa yang kupikirkan saat aku menatapya sekarang?”
“apakah yang tengah terjadi di dunia tidurmu ibu, bisakah aku tahu?”
Paduan suara katak dan jangkrik di malam yang penuh lelah mengantarkanku ke dunia mimpi, kedunia yang kadang membuatku seperti seorang raja yang di kagumi dan di saying oleh masyarakatnya. Tapi kadang jga membuat jantungku seperti berhenti bekerja, melihat sosok perempuan yang sangat ku idolakan menggunakan gaun putih seperti putrid dari istana langit namun tangannya tak bisa kusentuh, keningnya tak mampu ku kecup hanya melihat dia tersenyum manis mlambaikan tangan lalu hilang terbawa angin.

Pagi ini seperti biasa, ibu telah beranjak sedari tadi menuju rumah seseorang untuk melakukan apa yang menurutnya harus di lakukan apa yang menurutnya harus di lakukan agar tetap bertahan hidup. Aku pun bergegas menuju pasar menjalankan rutinitas melawan hidup, membantu orang-orang yang membutuhkan tenagaku dan tentu saja di balas dengan upah. Tenaga dan keringatku terkadang dihargai seribu perak atau jika malikat sedang memandangku lalu kasihan padaku aku bisa dapat lebih sekali mengangkat barang seseorang. Tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di tujuanku, dimana aku bertukar antara tenaga dan imbalan , keringat dengan upah dan senyuman yang terbalas caci pedagang dan maki buruh pasar lainnya yan lebih besar, lebih hitam dan terlihat sangat kasar.
“danar, sini bantu aku”
Suara terdengar kecil di telinga kananku, tapi tidak asing. Satu-satunya temanku di pasar ini. Anggi gadis yang lugu dan selalu berbagi suka maupun duka, ia juga sudah tidak punya ayah dan punya seorang kakak yang lumpuh sejak lahir.

Dibawa kemana anggi?
Parkiran, ikuti ibu itu.
Bibir kecilnya yang manis menunjuk kearah seorang ibu yang berjalan didepannya.
Tak lama kemudian, tibalah kami d depan sedan mewah berwarna hitam . ibu itu menyuruh kami meletakkan di bagian belakang, setelah membukakan pintu belakang.
“ini nak, digunakan sabaik-baiknya yah”
Ibu itu memberikan kami lima lembar uang yang bergambar sulta Mahmud badaruddin II dan rumah limas.
“apa ini tidak terlalu banyak, ibu?”
Ibu itu hanya tersenyum kecil sambil mengelus rambut kami yang bau terik matahari.
“terima kasih yah nak, sudah membantu ibu”
Tetap dengan senyum kecilnya yang semakin lembut.
“iya ibu, sama-sama”
Aku dan anggi serentak menjawabnya.
Sedan mewah berwarna hitam itupun berlalu, dan kami kembali berjalan ke dalam pasar sambil cengar-cengir kegirangan kecil.
***
Hari ini pasar sungguh ramai, penuh sesak keringat dan suara lantang tentang harga barang yang murah dan terjangkau. Maklum hari libur, banyak orang-orang yang meluangkan waktunya berbelanja ini itu untuk keperluan isi dapur dan lain-lainnya.
Aku dan anggi pun sudah tak menghitung berapa orang yang telah dibantu mengangkat barang bawaanya, hingga sebagian baju kami basah oleh keringat.
Lelah, letih dan lemas sudah sering menjadi kekasih kami di sore hari, namun ini berbeda dengan hari biasanya . sungguh sangat melelahkan, kusandarkan tubuh kecilku pada tumpukan kardus berisi sampah kering dan anggi berada di sampingku melakukan hal yang sama.
Beberapa pedagang sudah membereskan dagangannya, pasar sudah tidk lagi sesak, sampah-sampah pun sudah hampir berkumpul ditempatnya, kamipun beranjak dari sandaran kardus sampah yang lumayan nyaman saat itu.
Sebentar lagi malam. Matahari digenggamannya telah ia pindahkan dari jantung langit diatas kita, ia sematkan lagi pada pojokan lain disisi langit di seberang bumi tempat kita berada.
Akhirnya pertigaan ini memisahkan kami dan kembali berjumpa esok hari dengan semangat baru yang lebih cerah.
Aku pun bergegas menuju rumahku, ingin segera bertelanjang lalu menyirami tubuh kecilku dengan air, melepas semua gerah yang melekat bersama debu dikulitku.

“ibu, aku pulang”
“ibu…!”
“ibuuu…!”
Sudah kali ketiganya teriakan kecil keluar dari tenggorokanku sambil mengetuk pintu tanpa ada balasan.
“apa ibu belum pulang?, biasanya sudah lebih dulu tiba daripada aku” gumamku dalam hati.
Cahaya rembulan telah menyinari langit malam, baju yang basah telah kering di tubuhku. Dua jam telah berlalu dan perasaan telah pekat akan keganjilan malam ini. Ibu belum pulang. Tak terasa aku tertidur lelap bersandarkan pintu rumah yang tertutup rapat dan basah terkelupas. Binatang kecil penghisap darah yang sungguh tak lucu ini seperti berpesta ditubuh kusutku dan bernyanyi riang di sekitar telingaku.

Kurasakan hangat diluar tubuhku, sepertinya angin tidak menusuk dan ingin mematahkan tulangku lagi. Binatang kecil yang tidak lucu itu berhenti berpesta dan bernyanyi disekitar telingaku. Berselimut kusam didalam kelambu kusut, hangat peluk ibu menyadarkanku dari kelelahan.
Pagi kembali terulang seperti kemarin, ibu sudah beranjak sedarai tadi dan aku sudah berada diantara kerumunan manusia bersama teman baikku.
Ada yang aneh, kerumunan manusia ini berlarian seperti ada sesuatu yang telah terjadi. Hawa panas semakin terasa, hampir semuanya pucat, wajah tak berdarah. Ternyata benar, sebelum matahari memperlihatkan dirinya, pasar ini sebagian telah menjadi abu dan sebagian lagi masih berpelukan mesra dengan si jago merah. Tak tahu apa penyebab pastinya hingga setiap sudut pasar ini hampir rata dengan tanah. Setelah 13 jam kemudian si jago merah telah puas berpesta, pasar telah rata, setiap sudut menjadi abu, hawa panas dimana-mana.
Tapi itu sekitar 20 tahun yang lalu. Jauh sebelum ibu meninggal akibat terjatuh dari tangga rumah dimana ia bekerja. Sekarang aku berdiri tepat dimakam anggi, gadis yang selalu membuatku tertawa, bahagia dan senang. Gadis yang kuimpikan ingin kunikahi setelah berpacaran selama 5 tahun. Tapi sayang ia pergi mendahuluiku setelah tertabrak sedan hitam yang dikendarai oleh seseorang yang melaju terburu-buru dan melarikan diri tanpa jejak. Seperti tertelan gelap malam. Aku masih berdiri dan meratap nisan dengan namamu, kenapa ada meteor meluncur cepat menghancurkan hatiku? Membuncahkan sedih dan lara tak terhingga yang membuatku merasa kosong berkepanjangan. Benarkah itu Cuma dampak dari rasa bersalah? Ataukah memang aku merasa.
Kini aku tahu bagaimana rasanya kesepian dan hampir mati. Karena tak seorangpun yang memahamiku bahkan diriku sendiri. “aku sangat rindu padamu. Aku sangat menginginkan tubuhmu”. Ucapku didepan bingkai photo kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar