Minggu, 18 September 2011

Sore menanti ajal...

Sore melipur lara, sore yang marah…

Kipas angin berkecepatan maksimal. Tiga bungkus rokok, dua yang kosong satunya terisi setengah. Gelas kaca jumbo. Botol minuman satu liter. Headset yang baru terbeli. Dua lemari kayu besar, satu kecil dan satu lagi terbuat dari plastik. Kamar pecah. Panas.

Pintu terbuka seperempat.

“kau akan kalah! Hahaha”

“tambah 50 ribu?”

‘100 ribu!”

“oke”

Arena dari kardus berlantai karpet tua. Dua pahlawan dari kubu berbeda dan puluhan penonton. Berkumis lebat, sedang, dan baru bercukur. Tinggi. Hitam. Bau matahari. Knalpot resing lewat. Taji munusuk kepala lawan.

“pelan-pelan anjing!!”

Cecep yang kalah. Satu lagi yang mati. Kepala lebih dulu masuk kedalam karung. Di ikat lalu di buang di tempat sampah belakang rumah.

Kipas angin sudah sekarat, bagai leher terinjak truk. Asbak kaleng telah sesak puntung rokok. Bungkus yang berisi setengah kini jadi seperempat. Dan ada lagi yang terisi. Gelas kaca jumbo yang sedari tadi bening, kini berpendar menjadi merah gelap dan berembun. Srrupp. Segar.

Lelaki berkumis tebal, tegap, pekat dan bau matahari pulang menembus petang dengan senyum penuh semangat berserta rombongannya. Pahlawannya babak belur. Tapi ia membunuh. Menghasilkan dan tak sia-sia di rawat.

“ini untukmu”

“kok banyak begini?”

“sudah. Tidak usah banyak Tanya. Untung di kasi!”

“tapi ini dari mana?”

Pipi kanan membentuk telapak tangan berwarnah merah. Darah bercucuran. Bibir pecah. Lebam. Bulir air mengalir dari kedua bola mata perempuan yang ia kawini delapan bulan lalu. Istri ketiga.

“berhenti”

Perempuan kecil berkulit kuning langsat tertunduk. Telapak tangan kanan di pipi kiri. Menyembunyikan bekas luka. Namun ada yang mengintip keluar. Menatap sinis lelaki berkumis lebat yang duduk dikursi rotan yang berdenyit. Ingin menikam.

“kopi”

“kamu dengar”

“kopi… anjing!!”

Meja berkaca pecah. Asbak di ujung pintu, terbalik. Serpihan kaca menusuk telapak kaki dan hati. Tangis di dada. Tenggorokan bernanah. Garis-garis lurus berupa bukit meladak di ujung senja. Persetan delapan bulan lalu. Istri ketiga. Keempat dan seterusnya.

Satu lagi yang mati. Kepala lebih dulu masuk kedalam karung. Di ikat lalu di buang di tempat sampah belakang rumah.

Satu lagi yang mati. Dibalik besi karatan. Vonis jatuh. Penyesalan akhir cerita. Kepala terpisah. Di ikat lalu di buang di tempat sampah belakang rumah.

Ada lagi yang mati. Sore menanti ajal…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar