Sabtu, 17 September 2011

menelisik jarum di bibir pantai

Menelisik jarum di bibir pantai…



Rombongan camar telah mengarah kemari. Kami menyebutnya sunset telah kelabu dan petang pun mengiring langkah gadis kecil hingga disudut kamar yang tak teratur. Menatap ke langit kamar yang menembus langit gulita dari sela-sela lubang yang tak beratur pula.

Deburan ombak di halaman rumah yang beradu dengan suara kresek yang masih lumayan jelas dari tape tua berwarna hitam.

“la turung bosi ji pale’, ri ta’giling na alloa….”

Yeni dengan mata terpejam dan pendengaran yang tajam memalingkan tubuh ringkihnya kearah jam weaker yang bergambar lumba-lumba berharap suatu saat nanti bisa berteman dengan seekor mamalia laut yang bersahabat itu dengan dirinya.

Di pulau kecil yang penghuninya tak lebih dari 25 kepala keluarga ini tak ada satupun yang ingin mendekati yeni, selain ayahnya yang sudah tua dan batuk darah, dan ibunya yang mengalami gangguan jiwa karena kejadian 3 bulan lalu saat 2 anaknya ikut tenggelam bersama kapal yang mereka tumpangi. Tertelan laut. Dingin, gelap dan didasar sana sudah pasti basah.

Ibunya yang di pasung di ruang tengah terkadang teriak memanggil anaknya, mengutuk laut dan memaki siapa saja yang melintas depan rumahnya. Sedangkan yeni yang menderita penyakit kulit di sekitar wajah, tangan dan pundaknya hanya berharap datang seekor lumba-lumba yang menemaninya mencari kedua kakaknya didasar laut.

Rombongan camar telah melewati pulau ini, menuju laut. Dan yeni selalu berdoa untuk cama-camar itu, semoga mereka tidak tenggelam dengan hasil tangkapannya ditengah sana.

Tak ada tempat lain selain di depan rumah yang berhadapan bibir laut tempat yeni menikmati hidup.ia tidak berfikir untuk bisa sembuh dari penyakitnya, ia hanya meminta pada penguasa laut untuk mengembalikan kedua kakaknya dan perahu plastiknya. Perahu plastik yang dibuatkan olek kakaknya saat genap berusia 7 tahun.

Matanya mengarah ke laut, ibunya teriak tak jelas dan ayahnya. Yeni selalu menganggap ayah seekor lumba-lumba yang setia menemani ibunya yang sedang sakit. Selalu mengajak yeni berbicara walaupun yeni tak membalasnya dengan kata-kata hanya gerakan tubuh atau anggukan kepala, ayahnya tetap menjadi seekor lumba-lumba.

Ia tak berpendar, kakinya tenggelam kedalam pasir coklat, wajahnya memucat namun bibirnya tersenyum. Ia melihat segerombolan lumba-lumba melompat-lompat di tengah laut, seperti melintas dari arah timur ke barat. Namun ada dua ekor lumba-lumba yang berwarna coklat kepucatan mendekati yeni. Lumba-lumba itu seakan berbicara pada yeni, dan yeni seperti mengerti bahasa lumba-lumba itu.

“kesini yeni, kita bermain bersama”

“ia, tapi kita tunggu camar-camar lewat dan ajak juga bermain”

“camar-camar itu tidak akan lewat, ia telah bermain”

“tapi…”

“kesinilah yeni, kita bermain kapal-kapalan”

Yeni sangat senang bisa bermain kapal-kapalan dengan kedua lumba-lumba coklat pucat. Matanya yang kegirangan seakan telah menemukan apa yang sebenarnya ia cari. Dan puluhan tetangga yeni menyusuri laut, ada yang bernang, menyelam dan ayahnya yang tak kuasa menahan tangis.

Hingga tengah malam, tak ada hasil. Semuanya kembali kerumah masing-masing. Ayahnya mengambil boneka lumba-lumba yang ada di kamar yeni lalu mengikatnya di pinggulnya.

“bu!”

hanya itu yang ia katakan pada istrinya yang diam membisu, lalu menggendongnya sekuat tenaga dan berjalan kearah laut sembari berbisik di telinga istrinya.

“kita akan berkumpul bersama anak-anak kita lagi, bu!”

Camar pun telah berpulang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar