Merinduimu, sama seperti menanti musibah...
Ada lagi yang pecah. Retakannya meninggalkan cemas. Merah merana. Tampak terkelupas. Marah merona.
Ia memintaku untuk menemaninya merangkai cerita, menantang derita, dan melawan kejamnya sisi gelap kota setelah menjalani enam bulan kisah jarak jauh. Tangan kiri dan kananku sempat ragu pada lidahnya yang di tumbuhi sakura dan seruni pada musim semi. Jantungku berdetak tak kala harus meninggalkan sepetak sawah dan beberapa ternak, meninggalkan ibu dan ayah serta adik yang terbiasa di kursi roda, sejak kecil ia mengalami Poliomielitis
Jangan tanyakan tentang kota, aku membencinya. Ia memintaku menemaninya, si lidah yang di tumbuhi sakura dan seruni, maka aku juga membencinya, tak kala sakura dan seruni itu tampak gelap dan berlendir beberapa bulan belakangan ini. Menjijikkan.
Mereka beranggapan bahwa kota adalah deturasi surga, tempat istimewah yang di impikan kebanyakan gadis kampung sepertiku. Menilai dari kacamata rasional atau kacamata ritual super idiot tentang sebuah kenyamanan dan ketentraman berada diantara gedung-gedung pencakar langit, di antara gudang-gudang yang melahirkan polusi pemusnah langit. Menganggapku telah menjadi sosok konsumtif berlebihan, menamaiku luka desa dan yang parahnya, mereka menyamakanku dengan perempuan yang menghias tubuhnya dengan cinta murahan. Mereka, tetangga di kampung lupa bahwa manusia sama seperti cuaca, tak bisa di prediksi apalagi di kontrol.
Hanya beberapa bulan aku menikmati pelangi yang kami buat. Berseluncur di atasnya, bermandikan warna, merekah pada poros yang sejajar tentang mimpi yang selama ini ku impikan.
Aku membenci hidupku, aku membenci muntah itu, membenci tangan kasar itu, tangan yang membiasakan diri meremas dada dan menempar pipiku. Bulir mengalir. Ada lagi yang pecah. Lalu berdarah.
Aku baru tersadar berdiri sejak lama di depan pintu pesakitan setelah tahu vacum cleaner yang karatan telah berfungsi setelah 3 bulan lamanya bersemayam di dalam gudang belakang. Vacum cleaner itu menghisap pelangiku dan menyimpannya bersama debu. Menggantikannya dengan api. Dengan tangis dan darah.
Hampir setiap malam tangan kasar itu memaksa menyusup di balik baju dan celanaku. Mencari gundukan kembar yang tak pernah lagi ia pedulikan dengan cinta, dengan lembut dan sayang. Menaruhnya begitu saja. Menjadikannya khiasan tanpa perasaan. Membuat tubuhku bergetar, menahan rasa, marah dan dendam. Jika cinta sudah tidak peduli, maka rasa sakit dan darahlah sebagai gantinya.
Aroma alkohol itu menggauliku. Setiap saat. Setiap harta dan benda bertukar dengan kesenangan. Secara paksa. menjadikannya arena pelampiasan dimana cincin dijariku bertukar dengan kartu tak lengkap atau meja dan kursinya yang sudah di muntahi puluhan preman atau keberuntungan memang sudah habis tertimpah tubuh perempuan bergincu tebal dengan aroma Linn Young Papillon.
Setelah tujuh hari tausiah dirumah ini, aku pun memilih untuk pulang ke kampung. Tanpa pelangi. Tanpa sakura dan seruni. Tanpa cinci di jari manis. Balok kayu itu terkubur bersama dengan cerita si lidah yang di tumbuhi sakura dan seruni. Lelaki itu. Lelaki yang tangannya membuat ku bergetar menahan marah, darah dan terbakar, saat meniduriku secara paksa. Marah saat menggeledaku bak pencuri. Berdarah saat menghujaniku pukulan. Terbakar saat meniduriku dengan bau alkohol yang memaksa. Lelaki yang kematiannya seolah-olah gantung diri. Lelaki yang menamaiku istri selama tiga bulan setelah pernikahanku yang berusia sepuluh bulan. Maaf sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar