Serupa rak buku yang ditempati piring makan. Seumpama ada pernikahan, aku menyumbang anak. Anggap saja aku tuhan. Tapi aku tak berdoa. Tuhan juga demikian. Lalu mereka melihat tawa. Mendapati cemas. Terkadang sedih. Memelihara harta, tahta dan nama keluarga. Di balik tembok, tak ada yang terdengar, sekalipun kematian. Kain kafan maupun peti mati tak ada guna. Apa lagi upacara pembakaran. Koper sudah cukup. Kunci brangkas ada di saku kirinya.
Waktu itu, sabtu belum selesai. Kurang lima belas menit. Perempatan lorong kecil. Mereka menamai dirinya rasa cemburu. Pertemuan yang di landasi kesengajaan. Tak ada manusia melihat manusia. Sumbu terbakar. Gemercik api. Darah merah marah merona. Kematian selalu di tangisi. Anak manusia yang ditelanjangi gengsi.
Di tempat lain. Sabtu telah usai. Mencumbui modernitas kota. Membiarkan api membakar dalam dadaku. Tak ada hening. Aku tak perlu kopi. Tak butuh ganja. Mungkin juga tak butuh silahturahmi. Begitu pun buku. Membaca tidak membuatku bahagia. Tutup saja. Bakar jika perlu. Percuma, huruf-huruf tersusun untuk hidup lebih hidup hanya sampai di kepala saja. 'Jangan bicarakan apa yang kau pikirkan, tapi pikirkan apa yang kau bicarakan'.
Di sudut sana. Diantara bercak yang tak ingin menghilang. Akan selalu ada yang menggerutu tentang hidupnya yang tak lekas tertawa. Sesaat setelah bertemu kolega yang sama. Yang sama-sama membicarakan hasil rampasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar